24 November 2007

SIMBOL ISLAM


Tulisan ini disusun berdasarkan pertanyaan dari salah seorang murid di Pondok Darul Hijrah Putri, yang menanyakan tentang perihal simbol Agama Islam yang digambarkan dengan ikon bulan sabit dan bintang. Memang hampir seluruh agama manusia di dunia memiliki simbol-simbol tertentu. Buddha memiliki simbol swastika, atau patung Buddha, atau gambar candi; Hindu memiliki simbol dewa Krishna; Kristen memiliki simbol salib; Yahudi memiliki simbol bintang david berkuncup enam; dan lain-lain.

Islam sendiri digambarkan dengan ornamen bulan sabit dan sebuah bintang berkuncup lima tepat disamping bulan sabit itu. Simbol semacam ini banyak dimunculkan dalam berbagai bentuk, misalnya sebagai ujung pucuk kubah masjid, bendera negara yang “mengaku” bertata negara islami, lambang-lambang partai politik dan organisasi Islam, dan banyak lagi hal yang di sana bisa kita temukan ikon bulan sabit dan bintang ini, tentu saja hal tersebut selalu berhubungan dengan Islam, sehingga simbol ini telah terpatenkan sebagai simbol Islam.

Suatu simbol biasanya digunakan untuk menegaskan identitas si pemakai simbol. Simbol dimunculkan agar semua orang mengenal si pemakai simbol, sehingga jika orang-orang melihat sebuah simbol maka mereka dengan segera mengetahui identitas si pemakai simbol. Misalnya, jika kita melihat simbol burung garuda, maka kita akan selalu teringat dengan negara Indonesia. Terkadang simbol bisa berfungsi sebagai media komersial, sehingga dengan melihat simbol orang-orang akan tertarik dengan si pemakai simbol, misalnya jika kita melihat simbol pak tua berambut putih dan berjenggot lebat, maka kita akan ingat dengan restoran siap saji Kentucky Fried Chicken, lalu kita tertarik untuk makan siang di sana. Atau jika kita melihat simbol ka’bah, maka kita akan teringat dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), lalu kita tertarik untuk mencoblos partai politik itu dalam Pemilu. Bahkan, suatu simbol bisa saja berunsur politik. Misalnya, bendera Australia masih mencantumkan ikon bendera Inggris berupa garis biru merah berpalang dan bersilang, sebagai tanda bahwa Australia adalah negara bekas jajahan Inggris dan itu berarti bahwa Inggris sangat berkuasa. Ya, simbol sangat berguna sebagai penegas identitas.

Lalu bagaimana dengan Islam? Apakah Islam memang memiliki simbol bulan sabit dan bintang? Mengapa Islam sebagai sebuah agama menggunkan simbol tersebut? Apa yang melatarbelakangi penggunaan simbol tersebut? Well, we’re gonna find out, folks!

Islam sebenarnya tidak pernah mengklaim diri dan menggunakan suatu simbol tertentu, bahkan sejak zaman nabi Muhammad membangun agama ini. Jikapun ada, itu hanyalah berbentuk simbol sementara dan hanya digunakan dengan unsur politis. Rasulullah pernah menggunakan bendera yang seluruhnya berwarna hitam, tanpa lambang atau ornamen apapun, sebagai pembeda antara kaum muslimin dengan kaum kafir dalam perang atau sebagai media penegasan wilayah kaum muslimin. Bendera itu sendiri tidak pernah diasosiasikan kepada Islam secara pemanen dan secara keseluruhan, melainkan hanya dengan alasan politis. Kaum muslimin saat itu menyebut bendera tersebut dengan nama “al-‘Uqaab”.

Namun al-Uqaab bukanlah bendera yang pertama kali digunakan oleh nabi Muhammad. Bendera ini sebenarnya merupakan bendera suku Quraisy sebagai suku terkuat di jazirah Arab. Bendera ini dipakai sebagai simbol suku Quraisy sejak dipimpin oleh kakek nabi, Qusayy bin Kilab, yang membangun suku Quraisy dengan sistem politik dan sosial baru, sejak mereka merebut Ka’bah dari suku Khaza’ah , sehingga Quraisy pun menjadi suku yang amat sangat kuat dan terhormat. Tetapi al-Uqaab dimunculkan dengan tambahan ikon burung elang di tengah-tengah bendera tersebut. Kemudian, tidak diketahui keterangannya, nabi Muhammad membuang ikon burung elang tersebut dan menjadikan bendera tersebut berwarna hitam seluruhnya.

Pada zaman Khulafa al-Rasyidin pun tidak ada satu simbol atau bendera apapun yang disematkan kepada Islam. Para Khulafa al-Rasyidin pun hanya mengadopsi bendera al-Uqaab untuk dipakai bagi kepentingan politik mereka. Tentu saja lagi-lagi alasan penggunaan bendera tersebut hanya dalam kerangka pergulatan politik saja.

Baru pada era pemerintahan dinasti Umayyah yang beribukota Damaskus (sekarang di negara Suriah) menggunakan bendera berwarna berbeda sebagai simbol pemerintahannya. Dinasti Umayyah mengggunakan bendera berwarna putih, tanpa embel-embel apapun, dan tanpa ikon tambahan apapun. Tidak ditemukan keterangan yang otentik tentang mengapa dinasti Umayyah menggunakan bendera tersebut, baik ketika mereka berkuasa di damaskus ataupun di Spanyol setelah mereka tersingkir oleh dinasti Abbasiyah, namun satu hal yang dapat dinilai adalah bahwa bendera tersebut menyimbolkan betapa hebat dan besarnya kekaisaran dinasti Umayyah itu.

Dinasti Abbasiyah bersikap berbeda dengan dinasti Umayyah dalam menggunakan simbol. Abbasiyah menggunakan bendera berwarna hitam penuh, namun tidak ada hubungannya dengan al-Uqaab. Alasan penggunaan bendera hitam tersebut adalah sebagai penghormatan terhadap pimpinan dinasti Abbasiyah, Imam Ibrahim yang tewas dalam gerakan Hasymi, suatu gerakan untuk menyingkirkan dinasti Umayyah, yang selama itu Imam Ibrahim menggunakan bendera hitam penuh untuk pemerintahannya. Namun di bawah pemerintahan khalifah al-Ma’mun bendera tersebut dengan bendera berwarna hijau penuh, sebab sang khalifah mengangkat Imam Ali Rada yang notabene adalah keluarga Ali bin Abi Thalib sebagai putra mahkota, sedang keluarga Ali memakai warna hijau sebagai simbol marganya.

Setelah dinasti Abbasiyah runtuh, muncul dinasti Fatimiyah yang memerintah di Afrika Utara. Dinasti Fatimiyah merupakan kekaisaran yang menganut ajaran sekte Ismaili, salah satu sub-aliran radikal dalam aliran Syi’ah. Karena itulah, dinasti ini menggunakan simbol bendera warna hijau, sebagaimana dipakai oleh keluarga Ali.

Sejarah terus beranjut sampai pada pemerintahan kekaisaran dinasti Utsmaniyah di Turki. Dinasti inilah yang pertama kali menggunakan simbol bulan sabit dan bintang sebagai simbol pemerintahannya. Lalu darimanakah asalnya simbol bulan sabit dan bintang ini?

Para Arkeolog telah menemukan bahwa simbol bulan sabit dan bintang telah banyak digunakan oleh masyarakat jauh sebelum Islam berdiri. Simbol tersebut khusunya banyak digunakan sebagai simbol pemujaan dewi-dewi bulan. Lihatlah batu-batu prasasti dan patung-patung peninggalan masyarakat pra-Islam, seperti masyarakat Asia Tengah dan Siberia, yang menyimbolkan pemujaan terhadap dewi-dewi bulan, seperti batu-batu berukir dari Harran, kota pusat pemujaan dewi bulan ini, atau lihat batu berukir yang menggambarkan pemujaan terhadap dewi bulan Mesir, atau lihat patung dewi bulan Persia ini. Tidak diketahui simbol manakah yang diambil kekaisaran Turki Utsmani, namun keterangan yang paling masyhur adalah simbol bulan sabit dan bintang yang diidentikkan dengan simbol Islam ini berasal dari simbol dewi bulan Yunani bernama Artemis atau juga disebut Diana.

Tahun 339 Sebelum Masehi dulu, Byzantium (pada era selanjutnya menjadi Konstantinopel, dan sekarang dikenal sebagai kota Istanbul, ibukota Turki), negara kota adidaya pada zaman itu, berhasil menaklukkan Yunani. Dalam Mitologi Yunani ada dewi bulan yang bernama Diana yang disimbolkan dengan bulan sabit. Byzantium mengadopsi simbol tersebut sebagai penghormatan terhadap dewi bulan Diana.

Kemudian Byzantium ditaklukkan oleh kekaisaran Romawi pada tahun 330 sesudah Masehi, yang kemudian mengganti namanya menjadi Konstantinopel. Bangsa Romawi merupakan penganut agama Katolik Roma namun tetap mengadopsi simbol bulan sabit tadi sebagai simbol negara sambil menambahkan ikon bintang di samping bulan sabit itu. Tambahan satu bintang tersebut merupakan simbol penghormatan terhadap The Virgin Mary (Maria si Perawan). Mary diterjemahkan oleh al-Qur’an dengan kata “Maryam”, bunda nabi Isa.

Namun kemudian dinasti Turki Utsmani yang menganut agama Islam berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453 Masehi, dan mengubah namanya menjadi Istanbul. Dinasti Turki Utsmani ini mengadopsi simbol kota yang telah ada sebelumnya, yakni bulan sabit yang telah ditambahkan dengan bintang, lalu menjadikannya simbol resmi kota Istanbul dan dinasti Turki Utsmani secara keseluruhan. Karena kekaisaran Turki Utsmani berdiri atas nama Islam, maka kekaisaran Turki Utsmani ini pun dikenal sebagai kekaisaran Islam. Kemudian karena kekaisaran Turki Utsmani ini merupakan kekaisaran Islam dan menjadikan simbol bulan sabit dan bintang sebagai simbol negara, maka akhirnya simbol bulan sabit dan bintang tersebut dianggap sebagai simbol Islam. Hal tersebut juga didorong karena dinasti Utsmani menggunakan simbol tersebut dalam berbagai bentuk, seperti pada arsitektur masjid, bendera negara, koin uang, dan lain-lain. Kemudian wilayah kekuasaan dinasti Turki Utsmani mencapai hampir seluruh belahan dunia, sehingga negara-negara kekuasaan dinasti Utsmani yang “diislamkan” pun mengikuti gaya Istanbul dalam menggunakan simbol, termasuk Samudera Pasai di Aceh (konon kerajaan Samudera Pasai pernah meminta bantuan politik dan militer kepada kekaisaran Turki Utsmani untuk menahan gempuran para penjajah Eropa). Last but not lease, makin patenlah simbol bulan sabit dan bintang sebagai simbol Islam dan masih dianggap sebagai simbol Islam hingga sekarang ini.

Pada periode selanjutnya, kekaisaran dinasti Utsmani berubah bentuk menjadi negara Republik Turki, namun negara ini tetap saja menggunakan ikon bulan sabit dan bintang pada bendera negaranya yang berwarna dasar merah. Namun Turki sekarang juga memiliki bendera simbol agama Islam dengan bentuk yang sama namun berwarna dasar hijau. Sekarang banyak negara yang “berhaluan” Islam, menggunakan ikon bulan sabit dan bintang pada bendera negaranya, seperti negara Malaysia, Pakistan, Tunisia, dan lain-lain.

Nah, itulah sejarah mengapa Islam memiliki simbol bulan sabit dan bintang. Namun perlu diingat bahwa walau bagaimana pun Islam tidak pernah mengidentifikasi diri dengan suatu simbol apa pun. Simbol hanya hanya digunakan Islam sebagai representasi gerakan politiknya, bukan melambangkan spiritualisme Islam, seperti halnya Buddha, Hindu, Sikh, Shinto, Kong Hu Chu, Kristen, Yahudi, dan lain sebagainya. Wallahu a’lam.

Dari Berbagai Sumber

21 November 2007

MAHASISWA RUSAK CITRA MAHASISWA

Tanggal 1 November yang lalu, para mahasiswa dari berbagai organisasi kemahasiswaan dan berbagai Perguruan Tinggi, berunjuk rasa di pusat kota Banjarmasin. Demonstrasi dilakukan dengan mengelu-elukan ketidakbecusan kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta kabinetnya dalam mengelola negara. Kebetulan pada hari itu Presiden SBY sedang bertandang ke kota Banjarmasin, jadi mumpung SBY lagi ada di Banjarmasin, demonstrasi besar-besaran kayaknya asyik juga, begitu kira-kira pikiran mahasiswa saat itu. Dalam demo tersebut para mahasiswa ingin SBY mundur dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia. Mereka menilai SBY tidak dapat membawa bangsa ini kepada apa yag dicita-citakan, sehingga mundur adalah jalan terbaik bagi SBY.

Karena ini “demo akbar” para mahasiswa pun nampak begitu antusias, berpakaian lengkap dengan jas almamater, plus ikat kepala berwarna merah putih laiknya bendera negara, bendera berbagai organisasi kemahasiswaan, spanduk dan karton-karton bertuliskan aspirasi mereka, dan yang penting corong pengeras suara, capek khan teriak-teriak!

Sayang, usaha mereka dihalangi-halangi pihak kepolisian. Mereka dipaksa untuk bubar pada saat mereka lagi asik-asiknya berdemo. Menurut pihak kepolisian demo tersebut dilaksanakan tanpa izin, sehingga pantas dibubarkan. Lagian, para mahasiswa juga bikin kotor kota, sampai bakar ban segala dan membuang sampah sembarangan. Nah, kalo gitu pak Polisi bener tuh! Karena upaya menyampaikan aspirasi dihalangi, para mahasiswa pun berontak, dan tak ayal terjadilah bentrok fisik antara para mahasiswa dan aparat. Beberapa orang mahasiswa akhirnya menderita luka-luka dan beberapa mahasiswi ada yang pingsan. Kok cowoknya ngijinin aja? Kasian tuh dia…

Padahal pada hari itu, dilaksanakan acara pembukaan Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (Pomnas) yang kali ini Kalimantan Selatan menjadi tuan rumah even berskala nasional tersebut. Saat itu pembukaannya dilaksanakan di stadion 17 Mei Banjarmasin, kandangnya Barito Putra, hidup Barito! Nah, Presiden SBY datang ke kota Banjarmasin untuk membuka secara resmi kegiatan Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (Pomnas) tersebut, yang ternyata SBY mendapat sambutan yang “sangat hangat” dari para mahasiswa, demonstrasi minta dia mundur!

Kita begitu terkejut ketika mengetahui berita ini, dan kita sangat menyayangkan sikap gerakan mahasiswa Banjarmasin sekarang ini yang kita lihat semakin tidak bijak dan lebih menonjolkan egoisme organisasi ketimbang akal sehat. Bayangkan, hari itu adalah hari digelarnya pesta olahraga mahasiswa terbesar sejagad negeri ini. Sebagai tuan rumah, mahasiswa Banjarmasin seharusnya menyita perhatian mereka ke stadion 17 Mei dimana pembukaan Pomnas dilaksanakan, bukannya demonstrasi sampai bikin onar segala. Even Pomnas adalah acara mahasiswa, dilaksanakan oleh para mahasiswa, diikuti oleh para mahasiswa, dan untuk para mahasiswa juga. Dengan adanya demo tersebut nama baik mahasiswa Banjarmasin sebagai tuan rumah Pomnas bisa saja tercoreng oleh ulah mereka sendiri. Kalo bukan acara mahasiswa yang didatangi SBY waktu itu, kayaknya lumayan juga kalo mau demo, ini acara mahasiswa lho! Acara mahasiswa! Kasian kan panitia Pomnas yang rata-rata terdiri dari para mahasiswa juga, udah capek-capek bikin acara besar, eh malah dicoreng dengan demo tak berizin! Sampai bentrok dengan Polisi lagi! Emang ada pertandingan antara Barito dengan PSM ya?!

Rasa kecewa kita pun tidak hanya sampai di situ. Dalam aksi demo tersebut para mahasiswa membawa banyak bendera lambang organisasi kemahasiswaan. Ada bendera HMI, PMII, PII, BEM ini, BEM itu, dan lain-lain. Saking banyaknya, kalo lihat demo itu dari atas, kita cuma bisa lihat bendera-benderanya daripada para mahasiswanya. Menonjolnya bendera semakin menandakan bahwa gerakan mahasiswa Banjarmasin sekarang lebih mementingkan egoisme organisasinya daripada sikap ilmiahnya sebagai mahasiswa. Kalo mau demo, ya demo aja, ga usah nonjolin organisasi dong!

Ya, mahasiswa Banjarmasin telah terjebak pada fanatisme kelompoknya. Antusiasme untuk berorganisasi telah membuat jiwa mereka terkurung dalam permainan ego antar organisasi kemahasiswaan. Egoisme tersebut bukannya membuat mahasiswa bersikap ilmiah dan memahami organisasi, tapi justru membentuk pribadi-pribadi yang mudah membenci orang lain dan bisa membela yang salah dan memusuhi yang benar. Coba kita lihat saat ada Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa) untuk memilih ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan anggota-anggota Dewan Legislatif Mahasiswa (DLM), egoisme organisasi terasa sangat kentara, aroma permusuhan pun begitu jelas tercium antar organisasi kemahasiswaan yang mengusung kandidat-kandidatnya. Bahkan, Pemilwa di salah satu Perguruan Tinggi di Banjarmasin tahun 2006 lalu lebih cenderung bernuansa premanisme. Pada saat acara Debat Kandidat antar calon Presiden Mahasiswa, para pendukung calon-calon membawa parang, pisau, dan alat-alat tajam lainnya. Busyet deh! Itu Pemilwa atau perang sih?

Sikap ilmiah juga semakin berkurang dalam jiwa para mahasiswa. Forum-forum diskusi dan seminar-seminar terlihat sepi peserta, tulisan-tulisan ilmiah pun sudah jadi barang langka, buku-buku kehilangan pembacanya, perpustakaan juga tidak lagi jadi tempat baca buku, tapi jadi tempat ngeceng dan kenalan, atau bahkan ga dikunjungi sama sekali! Justru acara-acara kayak festival Band, pentas seni, atau demonstrasi, malah laris manis! Emang sih, lumayan bisa nampang dan berlagak kayak artis, atau kayak pahlawan reformasi, biar adik-adik mahasiswi terkagum-kagum!

Nah, sudah saatnya para mahasiswa Banjarmasin menimbang-nimbang dirinya dan kembali kepada jati diri mahasiwanya. Saatnya untuk kembali baca buku, menulis ilmiah, berdiskusi, menemukan pengetahuan baru, mengisi diri dan jiwanya dengan tradisi ilmiahnya. Biar nanti kalo udah balik ke masyarakat ga malu-maluin! Jangan sampai mahasiswa di mata masyarakat menjadi buruk. Apa jadinya kalo mahasiswa sudah tak lagi dipercaya sebagai tingkatan masyarakat yang tinggi derajatnya? Apalagi sampai terlibat skandal negatif seperti yang terjadi baru-baru ini di Banjarmasin: Seorang Presiden BEM di salah satu Perguruan Tinggi di Banjarmasin kedapatan lagi mesra-mesraan dengan seorang mahasiswi baru di kos-kosan ceweknya. Padahal “sang Presiden” udah menikah! apa ga malu-maluin tuh?!

Ayo reformasi diri, wahai mahasiswa Banjarmasin! Hidup Mahasiswa!

18 November 2007

ULAMA: INTELEKTUALITAS ATAU PENGAKUAN MASYARAKAT?

Akhir-akhir ini kita sepertinya sedang memasuki “agenda kesalehan”.[i] Segala macam gerakan, organisasi, sistem pemerintahan, bahkan produk makanan dan pakaian beratributkan Islam muncul bak air bah. Kita bisa melihat di media-media, bahkan mungkin dengan mata kepala sendiri, bahwa Islam sepertinya muncul dalam berbagai macam bentuk produk manusia, fikiran dan olah tangan manusia. Ada “Organisasi Gerakan Islam”, ada pula wacana penegakan Syari’at Islam, ada juga bank-bank syari’ah, ada pula produk Busana Muslim lengkap dari kopiah sampai celana dalam, ada juga sinetron dan film “Islami”, ada lagi minuman ringan bersoda bermerek “Islam Cola”, dan lain-lain. Entah dari mana gelombang ini berasal, namun dalam konteks kemunculan gerakan-gerakan Islam Militan dengan misi penegakan syari’at disinyalir tren seperti ini muncul atas dasar terpenuhinya keinginan untuk berbicara bagi kalangan Islam militan di era Reformasi ini, setelah di era Orde Baru kesempatan untuk itu dipasung dan dihalang-halangi oleh penguasa dengan dalih Nasionalisme.[ii]

“Agenda kesalehan” ini rupanya merambah juga ke dunia per-ulama-an. Saat ini kita dapat menyaksikan bermunculannya para ulama dalam berbagai bentuk, ada yang berupa da’i, ada pula yang berupa konsultan rumah tangga, ada yang ahli “zikir modern”, ada pula yang ahli manajemen hati. Kita bisa menyambut fenomena ini dengan bangga dan syukur, sebab agaknya kehidupan Islam akan terus berjalan seiring dengan suasana masyarakat modern yang serba positivistik, naturalistik, hedonistik.

Namun ada hal yang sangat menarik ketika melihat fakta-fakta ini. Yakni, bahwa para ulama itu rata-rata masih berusia muda dan rata-rata tidak berlatang belakang pendidikan tinggi agama formal. Justru mereka jebolan Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi non agama. Saya akui bahwa saya memang agak meringis ketika melihat hal ini, sebab saya adalah mahasiswa sebuah perguruan tinggi Agama Islam Negeri yang dikaderkan menjadi “ulama” dengan dibekali seabrek teori-teori dan kaidah-kaidah yang rumit-rumit.

Salah satunya adalah K.H. Abdullah Gymnastiar atau yang biasa dipanggil AA Gym. Dai yang satu ini adalah ulama yang bergelut dalam bidang apa yang disebutnya “Manajemen Qalbu”, yaitu semacam suatu nasihat dan anjuran yang berkenaan dengan bagaimana agar hati tetap terjaga dari segala macam niat dan gemeritik hati yang buruk. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perilaku yang tidak sesuai dengan perintah dan hukum Allah. Uniknya, perangkat-perangkat ilmu “Manajemen Qalbu” tidak perlu aturan epistemologis atau kaidah-kaidah yang rumit seperti Filsafat, Tafsir, Hadits, bahkan Tasawuf sekalipun. AA Gym tampaknya tidak mau ambil pusing dengan pemikiran-pemikiran politik, ekonomi dan ketatanegaraan. AA Gym yang dilahirkan di Bandung, 29 Januari 1962 ini pernah mengecap pendidikan di D-3 PAAP (Pendidikan Ahli Administrasi Perusahaan) Universitas Padjadjaran. Selain itu, ia juga menimba ilmu di Fakultas Teknik Universitas Jendral Ahmad Yani, yang tentu bukan Perguruan Tinggi Agama. AA Gym Cuma pernah belajar agama di Pesantren Miftahul Huda Mononjaya Tasikmalaya, dan belajar secara otodidak dengan Ajengan Junaidi di Garut. Ia juga aktif dalam beberapa organisasi seperti Resimen Mahasiswa di Akademi Teknik Universitas A.Yani (1982) sebagai komandan. Ia juga merupakan pendiri Kelompok Mahasiswa Islam Wiraswasta (1987). Sekarang ia menjabat sebagai Pimpinan Ponpes Darut Tauhid, Bandung (1990 – sekarang).[iii]

Lain halnya dengan M. Arifin Ilham. Da’i dan ulama satu ini agaknya lebih fenomenal dibanding yang lain, sebab ia mengkonsep susunan wirid dan dzikir yang dikemas sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Sesekali ia membawa para jamaahnya kepada suasana haru dan penuh air mata, demi merenungi segala macam perilaku sehari-hari yang mengandung dosa dan maksiat yang sering tidak pernah disadari. Kegiatan ini dimaksudkan agar para jamaah sadar akan segala dosa dan segera bertobat pada Allah. Tanpa bermaksud macam-macam, setiap kali melihat wajah Arifin Ilham saya selalu terbayang wajah David Trezeguet, pemain sepakbola dari tim Juventus itu. Arifin Ilham dilahirkan di Banjarmasin, 8 Juni 1969, anak kedua dari 5 bersaudara yang semua saudaranya perempuan. Ia pernah bersekolah di SMPN 1 Banjarmasin. Setelah lulus ia menolak anjuran ayahnya untuk sekolah ke Ponpes al-Falah Banjarbaru, namun justru hendak sekolah ke Pondok Modern di pulau Jawa. Akhirnya ia masuk Ponpes Ulujami di Kebayoran Lama, Jakarta. Setelah setahun sekolah disana ia kemudian pindah ke Ponpes As-Syafi’iyyah dan duduk di kelas 2 Aliyah. Ketika ingin melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi, ia justru dianjurkan guru Ponpesnya untuk kuliah di Perguruan Tinggi umum saja. Alhasil, dia masuk Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Politik Universitas Nasional’ Jakarta. Ia pernah menjadi dosen di Universitas Borobudur.[iv]

Sayang, saya tidak menemukan biodata Ustadz Jeffry al-Bukhori. Padahal, ia juga merupakan da’i dan ulama yang “gaul” karena sasaran dakwahnya kebanyakan para remaja dan para selebritis. Namun, sekilas saya pernah menyaksikan tayangan salah satu infoteinment yang saat itu memprofilkan Ustadz Jeffry. Diceritakan bahwa ia pernah terjun dalam dunia entertainment dan pernah main sinetron bersama kawan akrabnya Gugun Gondrong, presenter dan mantan VJ MTV. Namun, suatu saat ia ternyata menemukan jati dirinya di ranah agama, maka beralihlah ia menjadi seorang da’i.[v]

Itulah segelintir ulama berpendidikan non agama yang sukses dalam dunia per-ulama-an. Sambutan masyarakat begitu hangat (dan histeris) setiap kali mereka tampil di mimbar, di televisi, di radio, dan lain-lain. Segala ujaran-ujaran mereka selalu didengar dan dicermati baik-baik oleh para jamaah. Masih banyak lagi da’i-da’i muda yang muncul mengiringi mereka. Apalagi, sekarang mulai menjamur forum-forum studi Islam di sekolah-sekolah umum dan perguruan tinggi-perguruan tinggi non agama. Bahkan, salah satu televisi swasta menggelar kontes da’i tahunan yang melahirkan penceramah-penceramah dan ahli-ahli agama muda.

Melihat fenomena ini, kita mungkin bertanya-tanya ada apa dengan dunia keilmuan Islam. Saya teringat pada saat saya masih kecil, diceritakan bahwa seorang “Guru” (istilah ulama bagi masyarakat Banjar) tidak akan sah sebagai “Guru” kalau belum beijazah[vi] kitab Sifat Dua Puluh[vii]. Begitu pula “syarat kesarjanaan” dalam bidang-bidang ilmu agama yang lain. Sistem ijazah memainkan peranan penting dalam figur seorang ulama. Selain itu, dalam terminologi Tarekat seorang mursyid harus memiliki silsilah[viii] yang tidak terputus dengan mursyid-mursyid sebelum dia, dan memiliki hubungan yang intens dengan tarekat-tarekat lain. Dalam ilmu Tafsir, seorang penafsir haruslah orang yang menguasai berbagai seluk beluk kebahasaan Arab, lengkap dengan ilmu Nahwu (Ilmu struktur bahasa Arab), Sharf (Ilmu fungsionalisasi bahasa Arab) dan Balaghah (Ilmu Sastra), bahkan harus hafal keseluruhan al-Qur’an. Dalam ilmu mushthalah al-hadits, seorang perawi haruslah orang yang cerdas, kuat ingatan, dan bukan pembohong. Begitu ketatnya syarat yang harus dimiliki oleh seorang ahli agama, sehingga ulama merupakan jabatan yang sedikit kuantitasnya.

Ketika menyimak kemunculan ulama-ulama dan dai-dai muda dengan latar belakang pendidikan rata-rata non agama, kita dapat menyadari bahwa kata “ulama” mengalami pergeseran makna yang sangat drastis di zaman ini. Saat ini, seorang ahli agama tidak perlu banyak berkutat dengan persoalan-persoalan dan teori-teori agama yang rumit dan complicated. Untuk menjadi seorang “ulama modern” tidak perlu mengkaji jauh-jauh ilmu-ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, tasawuf dan lain sebagainya, dan ilmu-ilmu penunjangnya, seperti filsafat dan sistem pendidikan Islam, dan lain-lain. Cukup dengan hafal sedikit ayat al-Qur’an dan hadits, pintar berbicara, dan yang paling penting adalah mampu menguasai audiens dengan entertaining talent yang memadai.

Entertaining talent sangatlah berperan besar dalam aktivitas ulama-ulama modern ini. Kita seringkali menemukan penceramah yang pintar ngebanyol, sering mengggunakan plesetan-plesetan dan lelucon-lelucon yang mengundang decak tawa. Ada pula pendakwah yang sering menggunakan istilah-istilah “gaul” yang lagi ngetren di kalangan remaja. Bahkan, ada pula ulama yang menggunakan kata-kata vulgar dan mengandung unsur seksual dalam setiap penyuluhan-penyuluhan agama yang dilakoninya. Itu semua adalah sedikit dari entertaining talent yang digunakan para ulama dalam aktivitas dakwahnya, karena di sinilah letak identitas seorang “ulama modern”.

Ulama di zaman modern memang sangat berbeda dengan ulama di zaman dulu. Ada perbedaan dari segi “elemen-elemen pembentuk” antara keduanya. Sebagaimana kita lihat, bahwa ulama dahulu lebih merupakan gelar kesarjanaan setelah melewati syarat-syarat dan proses-proses yang rumit, sedangkan ulama di zaman modern tidak lebih dari produk penguasaan terhadap audiens yang bernama masyarakat. Keadaan ini tampaknya dipengaruhi oleh dunia modern yang cenderung dirasakan sebagai suasana yang kering rohani.

Ada kesan yang kuat bahwa dunia modern adalah dunia yang mengandung nuansa positivistik, materialistik, dan hedonistik. Kecenderungan ini berasal dari budaya masyarakat modern Eropa yang mendapatkan “nyawa”-nya pasca revolusi industri di Inggris. Trauma sejarah yang kuat yang disebabkan oleh penderitaan yang dialami masyarakat Eropa karena dominasi gereja terhadap pengetahuan ketika itu berakibat pada tren berfikir masyarakat eropa yang cenderung melonggarkan, atau bahkan memutuskan hubungan dengan Tuhan. Akhirnya yang diakui sebagai kebenaran adalah dunia postifistis, materialistis, dan hedonistis itu. Pola pikir demikian kemudian dibawa ke dunia Timur yang mengagungkan metafisika (tentu bukan metafisika yang dimaksud dalam dunia Barat) dan hal-hal yang bersifat rohaniah, seiring dengan proyek civilizing mission oleh Barat terhadap Timur yang disebut masyarakat Timur sebagai Kolonialisme.[ix]

Kekeringan rohani yang dikandung oleh dunia modern rupanya dirasakan betul oleh masyarakat modern. Akibatnya, sebagaimana masyarakat Eropa di awal masa renainsans yang trauma dan kemudian mencela agama secara membabi buta, masyarakat modern pun mengalami trauma sejarah yang dahsyat. Orang-orang pun kemudian berbondong-bondong beralih pada agama. Namun, trauma sejarah menyebabkan masyarakat modern tidak melakukan banyak perenungan intelektualistik sebagaimana yang harus ditempuh masyarakat klasik untuk mencapai gelar ulama. Sehingga, setiap orang bebas mempelajari agama beserta pemahamannya yang bebas pula, tanpa mengindahkan kriteria-kriteria “akademik” yang telah terbentuk sejak zaman dulu. Akhirnya, muncullah apa yang disebut diatas, “ulama modern”.

Kita tidak dapat menyalahkan hal ini. Keadaan ini merupakan produk perjalanan waktu dan ruang yang berubah secara terus-menerus. Oleh karena itu, kemunculan ulama-ulama muda modern yang rata-rata tidak berlatang belakang pendidikan agama ini harus diakui. Ini berarti kebebasan berfikir dan berpendapat sebagaimana yang sebetulnya diinginkan dunia modern telah berjalan dan berlaku di masyarakat kita sekarang. Agama tidak lagi hanya dipelajari dan difahami oleh mereka yang berlatang belakang pendidikan agama saja, tetapi juga yang berlatar belakang pendidikan umum. Apalagi, dunia pengetahuan tidak lagi mengenal batasan epistemologi yang tunggal, tetapi ada asimilasi dan negosiasi antar disiplin ilmu pengetahuan, atau yang disebut dengan istilah Inter-Disipliner. Oleh karena itu, siapa pun yang mencoba untuk mempelajari dan memahami agama sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keilmuannya, maka ia harus diakui keabsahannya sebagai ajaran agama. Muhammad Syahrur yang notabene ahli teknik, Muhammad Salman Ghanim yang ahli ekonomi, adalah di antara mereka yang berlatar belakang pendidikan non agama yang karya-karya mereka harus diakui sebagai bagian dari khazanah intelektual Islam. Ironisnya, mereka justru dianggap sesat dan tidak sah sebagai pemaham agama oleh mereka yang justru memiliki riwayat hidup yang notabene sama dengan mereka yang dianggap sesat itu.

Dari uraian di atas dan kenyataan di lapangan, dalam perihal “ulama modern” intelektualitas bukan lagi sebagai ukuran bagi legalisasi gelar ulama bagi seseorang, namun semata-mata karena pengakuan masyarakat sebagai audiens pengajaran mereka. Masyarakatlah yang melegitimasi keberadaan seorang ulama. Setinggi-tingginya seseorang belajar agama, bila ia tidak diakui masyarakat maka ia tidak akan disebut ulama. Banyak profesor dalam bidang agama yang tidak dianggap ulama oleh masyarakat, paling-paling diakui hanya di dunia akademik. Namun, banyak pula mereka yang bukan sarjana agama justru ceramah-ceramah dan perkataan-perkataan mereka malah didengarkan dan dipatuhi oleh masyarakat. Namun begitu, ada konflik-konflik kecil antar kelompok masyarakat dalam mengklasifikasi orang-orang mana saja yang dapat diakui sebagai ulama. Pembicaraan ini bukan bagian dari makalah ini.

Untuk mendapatkan pengakuan masyarakat ini, seseorang harus memiliki apa yang telah kita sebutkan sebelumnya, entertaining talent. Ini berhubungan dengan retorika seorang ulama dalam setiap penyampaian segala apa yang difahaminya mengenai agama. Masyarakat yang berada di tengah-tengah kondisi bangsanya yang semrawut dan memusingkan ini lebih mudah didekati dengan hal-hal yang menghibur, sehingga mengundang simpati mereka.

Kesimpulannya, menjadi seorang ulama tidaklah perlu intelektualitas yang berbelit-belit, sebagaimana yang diterapkan pada mahasiswa dan pelajar di perguruan tinggi-perguruan tinggi agama negeri. Yang diperlukan hanyalah sedikit membaca buku-buku agama, suara yang indah dalam membaca al-Qur’an, pinter baca tulisan arab termasuk menerjemahkannya, pinter berbicara, dan yang penting adalah entertaining talent. Lalu, bagaimana urgensi perguruan tinggi-perguruan tinggi agama kemudian(Pertais)? Pertais harus menemukan identitasnya yang baru, yang tidak lagi berorientasi pada ke-ulama-an, namun berorientasi pada intelektualitas yang bebas dan terbuka, yang menerima segala macam paradigma keilmuan yang semakin plural.



CATATAN-CATATAN

[i] Istilah ini sekilas dilontarkan Moeslim Abdurrahman ketika menggambarkan era Orde Baru yang mencoba mengagendakan de-politisasi agama namun justru yang muncul gerakan-gerakan Islam yang menjamur. Sayangnya, gerakan-gerakan “Islam shaleh” itu tidak mengindahkan posisi kaum miskin dan tertindas, malah lebih memperhatikan kondisi umara yang kehilangan identitas. “Islam shaleh” lebih kelihatan daripada “Islam Nilai”. Moeslim Abdurrahman dalam hal ini berbicara dalam konteks interpretasi ajaran Islam demi keberpihakan Islam terhadap kaum miskin dan tertindas. Lihat Moeslim Abdurrahman, Islam Yang Memihak, (Yogyakarta: LkiS, 2005), hal. 18.

[ii] Jamhari dan Jajang Jahroni (peny), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 9. Buku ini memang berbicara dalam konteks gerakan-gerakan politik radikal yang mencoba menjadikan “Islam” sebagai instrumen kehidupan politik, namun tampaknya segala bentuk “kesalehan” itu senada dengan keinginan gerakan salafi ini. Bahkan, orang-orangnya pun itu-itu juga.

[iii] http://www.tokohindonesia.com/G/Gymnastiar,Abdullah

[iv] http://www.femina.com/M.ArifinIlham

[v] Dikutip dari salah satu acara infoteinment yang sayang sekali saya lupa nama acaranya, kapan ditayangkan, dan televisi mana yang menayangkan.

[vi] Ijazah merupakan legitimasi untuk menjabat sebagai seorang “Guru” yang diberikan oleh “Guru” sebelumnya, dimana seseorang telah belajar padanya.

[vii] Sebuah kitab berisikan ajaran-ajaran tauhid karangan Imam Sanusi, penyebar ajaran Ahlus Sunnah versi dia, yang kemudian disebut Sanusiyah. Kitab ini memuat konsep-konsep sifat bagi Tuhan beserta klasifikasinya dan diterangkan dengan dalil-dalil akal. Di Kalimantan Selatan, kitab ini tidak hanya diajarkan di pondok-pondok pesantren tetapi juga di kampung-kampung lewat pengajian-pengajian duduk.

[viii] Rentetan hubungan ilmiah dan batiniah antara seorang mursyid dengan mursyid-mursyid pengajarnya, begitu seterusnya hingga terbukti bahwa apa yang diajarkan seorang mursyid adalah memang berasal dari nabi Muhammad SAW.

[ix] Masyarakat Timur sebenarnya memaknai Kolonialisme sebagai penjajahan dalam bidang militer, politik, dan ekonomi. Namun proyek poskolonial menilai bahwa Kolonialisme juga melibatkan ideologi-ideologi yang Barat dibawa ke Timur. Salah satunya adalah ideologi Modernitas. Untuk melihat bagaimana kerja Kolonialisme bisa dilihat dalam Ahmad Baso, Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme, (Bandung: Mizan, 2005), hal. 64-73, meski studi Kolonialisme ini diperuntukkan bagi studi konteks dunia Islam nusantara di era pasca kolonial.

ADAKAH PENJAJAHAN DALAM AGAMA?

Tulisan ini disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Kajian Aqidah-Filsafat (Fokafi) Himpunan Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat (HMJ-AF) Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin, tanggal 15 Juni 2007 di lokal Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin.

Tema yang disodorkan kepada saya oleh pengurus Panitia Pelaksana kegiatan diskusi ini terbilang sesuatu yang cukup menarik. Tema diskusi yang bertajuk “Adakah Penjajahan Dalam Agama?” merupakan satu kalimat pertanyaan pendek yang dapat mengundang kecaman jika dilihat dari segi bahwa agama adalah jalan kebenaran. Maka, pertanyaan semacam ini akan bernada kecurigaan dan keraguan akan kebenaran agama. Namun kalimat ini juga dapat menimbulkan suatu aktivitas reflektif dalam jiwa si penanya. Setidaknya hal inilah yang harus dilakukan oleh mereka yang menginginkan kebenaran sejati. Pertanyaan ini bagi para pencari kebenaran sejati akan dilewati melalui jalan refleksi. Jika suatu pertanyaan sudah mengemuka maka kebenaran pun akan tiba.

Sebelum mencoba “mencari” jawaban dari pertanyaan tersebut, saya akan terlebih dahulu mencoba me-review apa yang menjadi titik awal dari segala pencarian, yakni persoalan tentang “Ada”. “Ada” merupakan inti dari pembahasan tentang eksistensi sesuatu, dimana akan diketahui Ada-kah sesuatu itu dan bagaimana sesuatu itu ber-Ada. Sesuatu yang tidak Ada tentu tidak mendapat tempat dalam proses pengetahuan kita karena ia mengandung sifat ketiadaan dan tentu tidak sedikit pun akan disebut oleh lisan dan terdetik di hati. Karena itulah, persoalan tentang “Ada” (eksistensi) dijadikan cabang utama dalam dunia keilmuan Filsafat, yakni yang kita kenal dengan Ontologi.

Memang, “Ada” telah menjadi perbincangan yang amat serius sejak awal kemunculan tradisi berfikir reflektif, khususnya di kalangan para filosof, sejak zaman Filsafat di Yunani, Abad Pertengahan, Renaninsance, hingga zaman pemikiran Filsafat kontemporer di abad 20, dan diperkirakan akan terus berlanjut selama aktivitas berfikir reflektif masih berlangsung. Kita mungkin ingat dua filosof besar Plato dan Aristoteles yang pemikirannya selalu bertolak belakang satu sama lain. Dalam perihal “Ada” dua pemikir guru-murid ini cukup berbeda pandangannya. Plato mengatakan bahwa sesuatu akan disebut “Ada” jika ia berada dalam dunia ide yang menjadi rival dunia nyata. Sebenarnya, menurut Plato, apa yang kita kenal dengan dunia nyata hanyalah merupakan bayangan dari dunia yang sebenarnya, yaitu dunia ide. Atau, dunia nyata merupakan manifestasi indrawi dari ide, sehingga apa yang benar-benar Ada adalah ide-ide. Karena Ada adalah ide, maka ide mendasari segala bentuk eksistensi.

Aristoteles di lain pihak menolak pandangan gurunya ini. Aristoteles mendasarkan pandangannya pada hukum sebab akibat yag berlaku bagi segala sesuatu. Ia menegaskan, bahwa eksistensi sesuatu berada dalam hukum sebab akibat. Sesuatu itu ber-Ada jika ia merupakan akibat dari Ada lain yang menjadi sebab keber-Ada-annya. Kemudian sebab itu sebenarnya adalah akibat dari sebab yang membuatnya ber-Ada. Begitu seterusnya sampai tingkatan-tingkatan ini terhenti pada titik puncak penyebab segala eksistensi, yakni yang disebutnya dengan prima causa, atau penyebab terakhir dari segala eksistensi. Di sini dapat dilihat bahwa keber-Ada-an sesuatu diliputi oleh proses logika yang berjalur tertentu, sehingga persoalan eksistensi merupakan persoalan logika, sehingga pada akhirnya apa yang Ada adalah apa yang dapat difahami secara rasional. Nampaknya Aristoeles mengandaikan adanya Ada yang dapat diakui kebenarannya oleh semua orang (kebenaran mutlak).

Di zaman Abad Pertengahan saat pengetahuan dan segala bentuk kebenaran dikuasai dan dikungkung oleh pihak institusi agama, persoalan tentang Ada tampak tidak menjadi persoalan yang serius, mungkin karena pihak gereja takut jika persoalan ini dimunculkan secara bebas akan menimbulkan keraguan umat terhadap agama sehingga institusi agama menjadi terlihat lemah dan hancurlah kekuasaannya. Karena itu, persoalan eksistensi direkayasa sedemikian rupa dengan menegaskan ketegasan tunggal bahwa segala Eksistensi merupakan manifestasi dari Allah dan seluruh makhluk adalah anak-anak Tuhan. Meskipun, mirip konsep eksistensi Aristoteles namun pemikiran ini tidak mengindikasikan hukum sebab akibat dan logika, melainkan berupa bentuk Teologi Kristiani yang rapuh.

Pada era Renainsance yang menandai mulainya era modern sekitar abad 16-18 M pembicaraan tentang “Ada” pun tetap menjadi topik yang selalu hangat diprbincangkan. Yang paling menarik adalah perdebatan antara Rene Descartes dengan John Locke, yakni antara pemikiran Rasionalisme dan Empirisisme. Descartes dengan rasionalismenya dalam perihal “Ada” mengatakan bahwa rasio adalah sumber dari segala pengetahuan dan karena itu rasio lah yang menghantarkan manusia kepada “Ada”. Maksudnya adalah bahwa kita dapat menangkap eksistensi sesuatu dalam kapasitas rasio manusia. Dengan ini maka Descartes mengandaikan otonomi manusia sebagai subjek yang superior. Berbeda dengannya, Locke menentang pendapat tersebut dengan mengedepankan pengalaman empiris dan indrawi yang menjadi sumber pengetahuan kita, yang berarti bahwa “Ada” ditangkap lewat pengalaman empiris manusia. Artinya, sesuatu dapat menjadi “Ada” jika manusia mengalaminya lewat pengalaman yang indrawi. Namun nampaknya kedua kecenderungan pemikiran di awal era modern ini lebih mengandaikan manusia sebagai poros utama pengetahuan. Sesuatu tidak dengan sendirinya ber-Ada, melainkan menurut otonomi manusia.

Segala perbincangan mengenai “Ada” setelah itu terus saja berkisar dalam rivalitas Rasionalisme-Empirisisme. Namun, di tangan Hegel masalah menjadi sesuatu yang baru, meskipun hampir mirip dengan apa yang disimpulkan oleh Plato. Hegel menyebutkan bahwa eksistensi itu adalah Roh (geist). Roh-lah yang mendasari Ada-nya segala sesuatu sehingga bagi Hegel, segalanya memiliki eksistensi sendiri, atau dalam istilah Filsafat kebanyakan: Ada dalam dirinya.

Perjalanan Filsafat yang terakhir di masa kita berpuncak di era post-modern, dimana kecenderungan pemikiran berorientasi pada kritik terhadap modernisme yang ternyata menimbulkan keresahan pengetahuan yang berujung pada pemaksaan teori pengetahuan itu sendiri (logos). Kritik post-modernisme, yang sebenarnya dipicu oleh para pemikir eksistensialis seperti Nietzsche, Kierkegaard, Sartre, dll, terhadap modernisme adalah bahwa ternyata apa yang kita ketahui dari pemikiran modernistik hanyalah merupakan bahasa yang kita tangkap lewat penyampaian pengetahuan melalui bahasa itu sendiri. Kita menurut para pemikir post-modern tidak dapat mengenal sesuatu kecuali lewat bahasa, sedangkan bahasa memiliki batasan-batasan tertentu karena perwujudannya yang berupa kata-kata dan huruf-huruf yang terbatas dan dirangkai menjadi kalimat sehingga bahasa tidak dapat mewakili secara penuh apa yang ingin disampaikannya. Karena itu, pengetahuan adalah hasil dari permainan bahasa yang penuh dengan rekayasa dan kepentingan dari si pengarang atau si penutur. Dengan ini maka manusia sebenarnya tidak dapat dengan sepenuhnya eksistensi atau ke-Ada-an sesuatu, melainkan hanya bentuk-bentuk bahasa yang kabur. Terlebih tangkapan manusia terhadap manusia melahirkan tafsiran-tafsiran yang begitu banyak, sehingga makin memperjelas jarak antara manusia dengan objek pengetahuan yang dipersoalkan eksistensinya itu. Adanya penghalang antara manusia dengan objek pengetahuan pun makin menegaskan bahwa “Ada” tidak dapat diketahui sehingga diperoleh pengetahuan dengan kebenaran mutlak tentangnya, apalagi menentukan apakah sesuatu itu Ada pada dirinya ataukah tidak. Yang jelas, mediasi yang begitu jauh, yakni bahasa antara manusia dengan “Ada”, menegaskan bahwa “Ada” hanyalah berupa bahasa yang dituturkan oleh si penutur atau tulisan yang ditulis oleh si pengarang.

Melihat ini maka “Ada” terletak pada apa yang kita tangkap melalui bahasa. Artinya, sesuatu tidaklah ber-Ada dalam dirinya melainkan bentuk dari pemahaman dan penafsiran kita terhadap bahasa yang semula ingin merepresentasikan “Ada” itu. Maka dalam konteks “penjajahan dalam agama” kita dapat memposisikan bahwa penjajahan dalam agama lebih merupakan suatu hasil penafsiran. Ada atau tidaknya penjajahan dalam hanya merupakan implikasi dari tafsir dan pemahaman yang tumbuh bagi pihak pembaca atau pengalam suatu pengalaman yang dirasanya sebagai suatu penjajahan.

Kondisi semacam ini pernah mungkin pernah dirasakan oleh masyarakat dunia ketiga di sekitar abad 14-15 saat Kolonialisme melanda seluruh bangsa-bangsa non-Barat. Barat lebih memaknai tindakan ekspansi wilayah dan penaklukan-penaklukan negara – baik secara militer, politik, ekonomi, maupun sosial budaya – itu sebagai civilizing movement, yakni gerakan pemberadaban. Sebelumnya Barat menilai bangsa-bangsa koloni sebagai bangsa-bangsa yang memiliki peradaban rendah, bodoh, tidak bernilai, amoral, dan lain sebagainya. Karena itu, Barat dengan kemajuan sains dan ilmu pengetahuan yang melanda Eropa mencoba memperbaiki kondisi bangsa-bangsa koloni tersebut. Namun di lain pihak, bangsa-bangsa non-Barat justru mengalaminya sebagai penaklukan, penjarahan, penjajahan, kolonisasi, atau kolonialisme. Sebab, bangsa-bangsa ini mengalami kemerosotan dan keterkikisan identitas dan dirsakan sebagai sesuatu yang merugikan. Terlepas dari pengecualian bahwa Inggris adalah satu-satunya negara penjajah yang “baik dalam menajajah”, pada dasarnya penjajahan tak lain adalah hasil dari permainan bahasa yang dimainkan oleh si penutur dan si penafsir, dimana si penafsir kadang unggul dalam permainan ini.

Dalam konteks “penjajahan dalam agama” Ada-nya penjajahan ditentukan oleh hasil dari pemahaman dan pengalaman si penafsir, yakni dalam hal ini adalah orang-orang yang beragama. Maka, kita nantinya akan melihat bahwa penjajahan dalam agama merupakan persoalan kaum beragama. Selain itu, kita juga akan berhadapan dengan kesulitan lain. Kita akan berhadapan dengan pertanyaan yang sebenarnya juga cukup pelik: “Dalam agama kita terjajah dari apa?”. Akan tetapi karena kita telah berpandangan bahwa persoalan keterjajahan merupakan persoalan bahasa yang dipermainkan oleh si penafsir atau si individu beragama, maka kita dapat melihat sekaligus mencoba menjawab pertanyaan “Adakah Penjajahan Dalam Agama?” dengan melihat kualitas individu-individu dalam beragama sesuai dengan konteks apakah orang yang beragama merasa terjajah dalam beragama, dan jika merasa terjajah apa yang merupakan bagian dari agama yang menurutnya menjajah dirinya.

Hal ini pun lantas membawa saya kepada klasifikasi orang beragama yang saya simpulkan berdasarkan hasil pengamatan yang mungkin tidak terlalu akurat namun nampak jelas bagi saya dalam pengalaman hidup saya selama ini. Setidaknya, ada tiga golongan orang beragama sesuai dengan perihal “Adakah Penjajahan Dalam Agama?”: Pertama, orang yang merasa terjajah oleh agama; Kedua, orang yang tidak merasa terjajah oleh agama, malah agama baginya adalah suatu kenikmatan bagi jiwanya; Ketiga, orang yang tidak peduli apakah ia terjajah ataukah tidak oleh agama. Orang ini tidak tahu-menahu perihal penjajahan dalam agama, katakanlah, orang yang abstain.

Orang yang merasa terjajah oleh agama ialah orang yang mengalami agama sebagai sesuatu yang mengekang dan menjajah. Keterjajahan itu pun tergolong dalam dua situasi: Pertama, Terjajah oleh praktik ibadah, hukum, atau aturan-aturan agama. Bagi orang ini ibadah merupakan sesuatu yang jelimet dan terasa merepotkan sekaligus menjemukan. Baginya, segala macam aturan dalam agama membuatnya tidak dapat menikmati kebebasannya dan menghabiskan waktu dan tenaganya untuk menikmati hidup. Sehingga, agama baginya hanyalah racun yang dapat mematikan kehendak nafsunya.

Kedua, Terjajah oleh ideologi agama yang tidak sesuai dengan pemikiran agama yang dimilikinya. Ideologi agama yang terwujud dalam institusi agama terkadang mengandung kepentingan kelompok atau golongan tertentu karena memang suatu ideologi adalah hasil dari spekulasi manusia yang memiliki kepentingan tertentu pula. Kebenaran ideologi pun adalah kebenaran yang egois dimana klaim kebenaran atas dirinya menjadi satu hal yang menjadi ciri khas suatu ideologi. Sehingga, bagi orang yang berseberangan dengan ideologi itu agama dapat menjadi sesuatu yang merongrong identitasnya dan menjajah otonomi kemanusiaannya. Kondisi semacam ini pernah dirasakan oleh masyarakat Eropa selama dominasi Gereja sebagai institusi agama yang berkuasa pada saat itu. Gereja menentukan segala macam pengetahuan beserta kebenaran yang harus dianut. Jika suatu pernyataan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah Injil dan kepasturan saat itu maka hal itu dapat menjadi dosa dan aib bagi agama. Hal ini tentu memunculkan tingkatan “kasta” tertentu dimana para pemuka agama menjadi “Anak Tuhan” sang pemegang kebenaran, sehingga menyisihkan orang lain yang menjadi akibat dari kekerasan kebenaran ideologisnya. Para penemu sains saat itu adalah korban dari keganasan ideologis ini. Kreatifitas yang terkungkung dan dibelenggu karena dinilai mematahkan semua pemikiran Gereja menghasilkan perasaan yang menyakitkan dan bahasa yang menyedihkan bagi identitas orang-orang non-Gereja. Wajar jika kemudian pasca dominasi Gereja masyarakat Barat begitu menuhankan Sains dan ilmu pengetahuan setelah mereka terbebas dari genggaman ideologi Gereja yang menjajah. Wajar pula jika kebanyakan individu lebih memilih Atheisme sebagai jalan hidupnya. Inilah keterjajahan oleh agama yang dirasakan kaum agama jika ideolgi agama menjajah dirinya.

Orang yang tidak merasa terjajah oleh agama dan menganggap agama sebagai sesuatu yang menyenangkan bagi kehidupan adalah orang yang begitu menikmati agama. Golongan ini pun terbagi dalam dua kondisi pula: Pertama, orang yang tidak terjajah karena ideologinya, yakni kelompok institusi agama yang berkuasa dan berhasil bercokol di tengah masyarakat karena ke-mayoritas-annya. Golongan ini menikmati agama karena mereka memegang kekuasaan dan bebas menentukan ragam aktivitas keagamaan dan undang-undang berada di “palu pengadilan”-nya.

Kedua, orang yang menikmati agama karena agama adalah jalan yang menghubungkannya dengan sang Zat Yang Agung yang merupakan Cintanya. Orang ini sangat menikmati keberagamaannya karena kebanyakan agama yang dinikmati dalam hal ini adalah agama yang benar-benar merupakan bentuk dari hubungan sipiritual antara Tuhan dengan manusia, bukan agama yang, katakanlah, terkontaminasi dengan kepentingan duniawi tertentu yang biasanya menghantui ideologi agama. Orang bergama dalam golongan ini merasakan suatu kenikmatan ketika ia “bercumbu” dengan Sang Ilahi, puncak dari segala kenikmatan yang membuatnya berbahagia di dunia dan di akhirat kelak. Baginya, kebersatuan dirinya dengan Tuhan merupakan puncak dari segala kebahagiaan hidupnya. Biasanya orang ini berada di jalan sufisme.

Di antara orang yang terjajah dan tidak terjajah oleh agama, ada pula orang tidak tahu-menahu perihal penjajahan dalam agama ini. Orang ini berada di tengah-tengah atau malah tidak ikut andil dalam keterjajahan dalam agama. Biasanya orang ini adalah orang yang bergama dan melaksanakan segala praktik ibadah namun tidak memberikan perhatian yang serius terhadap agama. Orang ini takut untuk melanggar kewajiban agama dan mengakui ada hari selanjutnya setelah kehidupan di dunia namun dalam kehidupan sehari-hari ia terkadang lupa akan aturan-aturan agama. Sekalipun ia beribadah namun beberapa tindakannya seringkali kurang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agamanya. Dalam pelaksanaan acara keagamaan ia juga turut berhadir namun tidak merenungi makna dari acara itu, bahkan hadir karena alasan kepantasan dan lain sebagainya. Dalam waktu-waktu tertentu ia ingat akan keberagamaannya, namun di waktu-waktu yang lain ia lupa bahwa aturan agama berkuasa atas dirinya. Ia sebenarnya tidak terlalu menjalankan agamanya namun akan menolak jika dikatakan agamanya tidak benar.

Inilah orang awam yang berada di luar keterjajahan dan tidak terjajah oleh agama. Kondisi ini mungkin dikarenakan pengetahuan agama yang kurang dimilikinya atau dia lebih mengkonsentrasikan kehidupannya pada pencapaian tertentu di luar agama, seperti karir, pengetahuan non-agama, pencarian nafkah atau kehidupan cinta. Orang ini pun bukanlah kaum pemuka agama dan yang berandil dalam institusi agama. Ia pun orang yang damai tanpa gelisah dan gundah dalam pertarungan ideologi agama. Pada dasarnya, orang ini menjadikan agama sebagai sesuatu yang dapat mendukung pencapaian cita-citanya namun agama tidak menjadi dasar dalam kehidupannya. Tapi justru orang-orang dalam golongan ini nampak lebih mendominasi kuantitas umat bergama, apapun agamanya. Penjelasan mengenai penyebabnya bukanlah sesuatu yang mudah, namun situasi ini adalah nyata adanya dan bisa kita semua temukan di sekitar kita. Orang-orang inilah yang lebih banyak terlihat di sekitar kita.

Nah, dalam konteks di atas, pertanyaan yang muncul bagi kita kemudian dan perlu direnungkan dalam-dalam adalah: Di manakah posisi kita?