12 April 2008

PONDOK PESANTREN DARUL HIJRAH, WASPADA DI PUNCAK TENAR

     Tak ada yang dapat menyangkal bahwa Pondok Pesantren Darul Hijrah adalah lembaga pendidikan Islam yang paling disorot sekaligus dikagumi di daerah kita sekarang ini. Keberadaanya dan semua yang ada di dalamnya nampak berbeda dengan kebanyakan pesantren lain yang nampak masih berkutat pada sistem pesantren tradisional. Prestasinya dalam segala hal membuat semua orang terpesona akan pesantren ini di tengah dunia pendidikan Indonesia yang semrawut. Pesonanya bikin kepincut hati para orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sana, berapa pun biaya sekolahnya. Ketenarannya menarik minat semua pekerja untuk berpartisipasi dalam sukses dan potensi pondok pesantren ini. Tercatat sekitar 1500 santri putra dan putri dengan hampir 300 pegawai, termasuk guru dan pegawai pengelola perangkat-perangkat sekolah, berperan dan ikut andil dalam menjalankan Darul Hijrah.
     Wajar saja Darul Hijrah sekarang begitu tenar. Berbagai macam prestasi yang didapat santri dan santriwatinya dari berbagai ajang lomba kesiswaan mengangkat nama dan marwah pesantren yang terletak di desa Cindai Alus ini, mulai dari lomba kecerdasan, seni, pramuka, bahkan olahraga. Lebih-lebih, semua orang mengenal Darul Hijrah sebagai lembaga pendidikan yang memiliki tradisi penguasaan bahasa asing, Arab dan Inggris, dimana santri-santriwatinya mampu bercakap-cakap dengan kedua bahasa tersebut, serupa dengan Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo sana. Tentu saja, Islam sebagai landasan utamanya menegaskan superioritas pesantren yang didirikan tahun 1986 ini di antara sekolah-sekolah menegah lain. Puncaknya, Darul Hijrah Putra baru-baru ini meresmikan Madrasah Aliyah berstandar internasional, tentu saja dengan perangkat sekolah dan sistem yang begitu modern. Sedang Darul Hijrah Putri berhasil mempublikasikan diri di ajang Pramuka nasional di Cibubur dengan meraih kemenangan dan segepok uang yang kemudian digunakan untuk membangun kegiatan Marching Band, suatu kegiatan yang tak dimiliki sekolah dasar dan menengah Islam mana pun di daerah kita. Dengan itu semua, maka ketenaran pun tak dapat terelakkan.
     Prestasi nampaknya memang menjadi program paling diutamakan di Darul Hijrah. Semua prestasi yang ingin didapat tak lain bertujuan untuk publikasi dan sosialisasi pesantren. Hal ini memang diakui oleh Pimpinan Pondok dan segenap bawahannya, sehingga langkah-langkah strategis pengelolaan Darul Hijrah pun nampak lebih berorientasi pada publikasi diri itu. Dalam tubuh struktur kepengurusan Pondok Pesantren Darul Hijrah ada yang namanya Bidang Bina Bakat yang mengurus pengembangan potensi santri dan santriwati dalam berbagai bidang skill, mulai dari pembinaan sampai kemudian si santri dan santriwati mengikuti suatu perlombaan atau pertandingan. Merekalah penyedia tranportasi dan akomodasi dan menjadi official para santri yang berangkat ke ajang-ajang kejuaraan tersebut. Dana yang disediakan untuk urusan bidang ini terbilang sangat besar dan ditarik dengan mencantumkan biayanya pada syarat pendaftaran para santri. Untuk tahun ajaran 2007/2008 Bidang Bina Bakat berhasil meraup dana dari pendaftaran santri baru dan pendaftaran ulang santri lama tak kurang dari Rp.75 juta dengan rincian Rp.100.000,- dibayar oleh setiap santri.
     Selain digunakan untuk membiayai transport dan akomodasi santri yang mengikuti perlombaan, dana besar tersebut juga digunakan untuk mendatangkan dan menggaji pelatih-pelatih handal di bidangnya yang nota bene berasal dari luar (orang bukan berasal dari pondok pesantren). Bahkan, terkadang pelatih-pelatih yang ditarik merupakan pelatih bertaraf provinsi jika bukan bertaraf nasional. Karena itu, tak heran jika banyak pegawai-pegawai di pondok ini kebanyakan adalah orang yang tidak pernah menjadi bagian pondok pesantren sebelumnya. Keberadaan mereka bagi sebagian pengelola kurang begitu diapresiasi, sebab menurut mereka bisa saja keberadaan pekerja-pekerja itu mengganggu keberadaan mereka, namun demi prestasi dan ketenaran, tenaga dan pikiran mereka sangat dibutuhkan.
     Ketenaran dan prestise yang selama ini didapat Darul Hijrah adalah sesuatu yang membanggakan sekaligus menguntungkan pada satu pihak. Namun di pihak lain semua kebanggaan tersebut patut pula diwaspadai. Setidaknya ada dua hal yang mestinya disoroti tatkala Darul Hijrah berada di puncak ketenaran.
     Pertama, ketenaran dapat memalingkan pondok pesantren ini dari orientasi kependidikan. Sebagai sebuah lembaga pendidikan, Pondok Pesantren Darul Hijrah merupakan wadah pendidikan generasi-generasi muda Islam yang diharapkan berkualitas. Sebagai pondok pesantren, Darul Hijrah melaksanakan pendidikan selama 24 jam penuh setiap hari. Pabila ketenaran terlalu mempesona bagi pihak pengelola pondok, dan ketenaran itu dianggap sebagai suatu aset yang dapat menguntungkan baik secara administratif maupun finansial, kemudian hal itu menjadi tujuan utama dalam pengelolaan pondok, maka Darul Hijrah akan kehilangan nilai-nilai pendidikannya.
     Kedua, ketenaran juga dapat mengikis identitas dan nilai-nilai kepesantrenan di dalam ”jiwa” Darul Hijrah. Tak dapat disangkal bahwa Darul Hijrah adalah sebuah pondok pesantren yang sejatinya merupakan wadah pendidikan ilmu-ilmu agama, serta pengembangan ilmu-ilmu tersebut. Pesantren merupakan “pertahanan terakhir” bagi kehidupan peradaban Islam melalui pendidikan dan pengajaran, sehingga Islam sangat mengandalkan pesantren bagi kelangsungan eksistensinya di era kaburnya batas-batas identitas sekarang ini. Jika Darul Hijrah terlalu memfokuskan diri pada orientasi prestasi dan publikasi diri dan hal tersebut dilakukan dengan pengembangan bidang sarana dan prasana, serta bakat dan kemampuan keterampilan para santri yang sayangnya bukan di bidang keagamaan dan pengetahuan keislaman, maka predikat pesantren dalam diri Darul Hijrah akan aus dan pada akhirnya hilang.
     Saat ini, hanya harapan yang bisa dihaturkan kepada Darul Hijrah agar tidak jatuh ke dalam lubang “kenyamanan dalam ketenaran” sehingga konsepsi Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah yang berarti Pendidikan Islam Para Pengajar (bukan guru, melainkan “yang mengajarkan ilmu”) yang semula dipegang Darul Hijrah tetap menjadi pijakan. Sayang, konsepsi ini ternyata sudah dihapus.