18 November 2007

ADAKAH PENJAJAHAN DALAM AGAMA?

Tulisan ini disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Kajian Aqidah-Filsafat (Fokafi) Himpunan Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat (HMJ-AF) Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin, tanggal 15 Juni 2007 di lokal Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin.

Tema yang disodorkan kepada saya oleh pengurus Panitia Pelaksana kegiatan diskusi ini terbilang sesuatu yang cukup menarik. Tema diskusi yang bertajuk “Adakah Penjajahan Dalam Agama?” merupakan satu kalimat pertanyaan pendek yang dapat mengundang kecaman jika dilihat dari segi bahwa agama adalah jalan kebenaran. Maka, pertanyaan semacam ini akan bernada kecurigaan dan keraguan akan kebenaran agama. Namun kalimat ini juga dapat menimbulkan suatu aktivitas reflektif dalam jiwa si penanya. Setidaknya hal inilah yang harus dilakukan oleh mereka yang menginginkan kebenaran sejati. Pertanyaan ini bagi para pencari kebenaran sejati akan dilewati melalui jalan refleksi. Jika suatu pertanyaan sudah mengemuka maka kebenaran pun akan tiba.

Sebelum mencoba “mencari” jawaban dari pertanyaan tersebut, saya akan terlebih dahulu mencoba me-review apa yang menjadi titik awal dari segala pencarian, yakni persoalan tentang “Ada”. “Ada” merupakan inti dari pembahasan tentang eksistensi sesuatu, dimana akan diketahui Ada-kah sesuatu itu dan bagaimana sesuatu itu ber-Ada. Sesuatu yang tidak Ada tentu tidak mendapat tempat dalam proses pengetahuan kita karena ia mengandung sifat ketiadaan dan tentu tidak sedikit pun akan disebut oleh lisan dan terdetik di hati. Karena itulah, persoalan tentang “Ada” (eksistensi) dijadikan cabang utama dalam dunia keilmuan Filsafat, yakni yang kita kenal dengan Ontologi.

Memang, “Ada” telah menjadi perbincangan yang amat serius sejak awal kemunculan tradisi berfikir reflektif, khususnya di kalangan para filosof, sejak zaman Filsafat di Yunani, Abad Pertengahan, Renaninsance, hingga zaman pemikiran Filsafat kontemporer di abad 20, dan diperkirakan akan terus berlanjut selama aktivitas berfikir reflektif masih berlangsung. Kita mungkin ingat dua filosof besar Plato dan Aristoteles yang pemikirannya selalu bertolak belakang satu sama lain. Dalam perihal “Ada” dua pemikir guru-murid ini cukup berbeda pandangannya. Plato mengatakan bahwa sesuatu akan disebut “Ada” jika ia berada dalam dunia ide yang menjadi rival dunia nyata. Sebenarnya, menurut Plato, apa yang kita kenal dengan dunia nyata hanyalah merupakan bayangan dari dunia yang sebenarnya, yaitu dunia ide. Atau, dunia nyata merupakan manifestasi indrawi dari ide, sehingga apa yang benar-benar Ada adalah ide-ide. Karena Ada adalah ide, maka ide mendasari segala bentuk eksistensi.

Aristoteles di lain pihak menolak pandangan gurunya ini. Aristoteles mendasarkan pandangannya pada hukum sebab akibat yag berlaku bagi segala sesuatu. Ia menegaskan, bahwa eksistensi sesuatu berada dalam hukum sebab akibat. Sesuatu itu ber-Ada jika ia merupakan akibat dari Ada lain yang menjadi sebab keber-Ada-annya. Kemudian sebab itu sebenarnya adalah akibat dari sebab yang membuatnya ber-Ada. Begitu seterusnya sampai tingkatan-tingkatan ini terhenti pada titik puncak penyebab segala eksistensi, yakni yang disebutnya dengan prima causa, atau penyebab terakhir dari segala eksistensi. Di sini dapat dilihat bahwa keber-Ada-an sesuatu diliputi oleh proses logika yang berjalur tertentu, sehingga persoalan eksistensi merupakan persoalan logika, sehingga pada akhirnya apa yang Ada adalah apa yang dapat difahami secara rasional. Nampaknya Aristoeles mengandaikan adanya Ada yang dapat diakui kebenarannya oleh semua orang (kebenaran mutlak).

Di zaman Abad Pertengahan saat pengetahuan dan segala bentuk kebenaran dikuasai dan dikungkung oleh pihak institusi agama, persoalan tentang Ada tampak tidak menjadi persoalan yang serius, mungkin karena pihak gereja takut jika persoalan ini dimunculkan secara bebas akan menimbulkan keraguan umat terhadap agama sehingga institusi agama menjadi terlihat lemah dan hancurlah kekuasaannya. Karena itu, persoalan eksistensi direkayasa sedemikian rupa dengan menegaskan ketegasan tunggal bahwa segala Eksistensi merupakan manifestasi dari Allah dan seluruh makhluk adalah anak-anak Tuhan. Meskipun, mirip konsep eksistensi Aristoteles namun pemikiran ini tidak mengindikasikan hukum sebab akibat dan logika, melainkan berupa bentuk Teologi Kristiani yang rapuh.

Pada era Renainsance yang menandai mulainya era modern sekitar abad 16-18 M pembicaraan tentang “Ada” pun tetap menjadi topik yang selalu hangat diprbincangkan. Yang paling menarik adalah perdebatan antara Rene Descartes dengan John Locke, yakni antara pemikiran Rasionalisme dan Empirisisme. Descartes dengan rasionalismenya dalam perihal “Ada” mengatakan bahwa rasio adalah sumber dari segala pengetahuan dan karena itu rasio lah yang menghantarkan manusia kepada “Ada”. Maksudnya adalah bahwa kita dapat menangkap eksistensi sesuatu dalam kapasitas rasio manusia. Dengan ini maka Descartes mengandaikan otonomi manusia sebagai subjek yang superior. Berbeda dengannya, Locke menentang pendapat tersebut dengan mengedepankan pengalaman empiris dan indrawi yang menjadi sumber pengetahuan kita, yang berarti bahwa “Ada” ditangkap lewat pengalaman empiris manusia. Artinya, sesuatu dapat menjadi “Ada” jika manusia mengalaminya lewat pengalaman yang indrawi. Namun nampaknya kedua kecenderungan pemikiran di awal era modern ini lebih mengandaikan manusia sebagai poros utama pengetahuan. Sesuatu tidak dengan sendirinya ber-Ada, melainkan menurut otonomi manusia.

Segala perbincangan mengenai “Ada” setelah itu terus saja berkisar dalam rivalitas Rasionalisme-Empirisisme. Namun, di tangan Hegel masalah menjadi sesuatu yang baru, meskipun hampir mirip dengan apa yang disimpulkan oleh Plato. Hegel menyebutkan bahwa eksistensi itu adalah Roh (geist). Roh-lah yang mendasari Ada-nya segala sesuatu sehingga bagi Hegel, segalanya memiliki eksistensi sendiri, atau dalam istilah Filsafat kebanyakan: Ada dalam dirinya.

Perjalanan Filsafat yang terakhir di masa kita berpuncak di era post-modern, dimana kecenderungan pemikiran berorientasi pada kritik terhadap modernisme yang ternyata menimbulkan keresahan pengetahuan yang berujung pada pemaksaan teori pengetahuan itu sendiri (logos). Kritik post-modernisme, yang sebenarnya dipicu oleh para pemikir eksistensialis seperti Nietzsche, Kierkegaard, Sartre, dll, terhadap modernisme adalah bahwa ternyata apa yang kita ketahui dari pemikiran modernistik hanyalah merupakan bahasa yang kita tangkap lewat penyampaian pengetahuan melalui bahasa itu sendiri. Kita menurut para pemikir post-modern tidak dapat mengenal sesuatu kecuali lewat bahasa, sedangkan bahasa memiliki batasan-batasan tertentu karena perwujudannya yang berupa kata-kata dan huruf-huruf yang terbatas dan dirangkai menjadi kalimat sehingga bahasa tidak dapat mewakili secara penuh apa yang ingin disampaikannya. Karena itu, pengetahuan adalah hasil dari permainan bahasa yang penuh dengan rekayasa dan kepentingan dari si pengarang atau si penutur. Dengan ini maka manusia sebenarnya tidak dapat dengan sepenuhnya eksistensi atau ke-Ada-an sesuatu, melainkan hanya bentuk-bentuk bahasa yang kabur. Terlebih tangkapan manusia terhadap manusia melahirkan tafsiran-tafsiran yang begitu banyak, sehingga makin memperjelas jarak antara manusia dengan objek pengetahuan yang dipersoalkan eksistensinya itu. Adanya penghalang antara manusia dengan objek pengetahuan pun makin menegaskan bahwa “Ada” tidak dapat diketahui sehingga diperoleh pengetahuan dengan kebenaran mutlak tentangnya, apalagi menentukan apakah sesuatu itu Ada pada dirinya ataukah tidak. Yang jelas, mediasi yang begitu jauh, yakni bahasa antara manusia dengan “Ada”, menegaskan bahwa “Ada” hanyalah berupa bahasa yang dituturkan oleh si penutur atau tulisan yang ditulis oleh si pengarang.

Melihat ini maka “Ada” terletak pada apa yang kita tangkap melalui bahasa. Artinya, sesuatu tidaklah ber-Ada dalam dirinya melainkan bentuk dari pemahaman dan penafsiran kita terhadap bahasa yang semula ingin merepresentasikan “Ada” itu. Maka dalam konteks “penjajahan dalam agama” kita dapat memposisikan bahwa penjajahan dalam agama lebih merupakan suatu hasil penafsiran. Ada atau tidaknya penjajahan dalam hanya merupakan implikasi dari tafsir dan pemahaman yang tumbuh bagi pihak pembaca atau pengalam suatu pengalaman yang dirasanya sebagai suatu penjajahan.

Kondisi semacam ini pernah mungkin pernah dirasakan oleh masyarakat dunia ketiga di sekitar abad 14-15 saat Kolonialisme melanda seluruh bangsa-bangsa non-Barat. Barat lebih memaknai tindakan ekspansi wilayah dan penaklukan-penaklukan negara – baik secara militer, politik, ekonomi, maupun sosial budaya – itu sebagai civilizing movement, yakni gerakan pemberadaban. Sebelumnya Barat menilai bangsa-bangsa koloni sebagai bangsa-bangsa yang memiliki peradaban rendah, bodoh, tidak bernilai, amoral, dan lain sebagainya. Karena itu, Barat dengan kemajuan sains dan ilmu pengetahuan yang melanda Eropa mencoba memperbaiki kondisi bangsa-bangsa koloni tersebut. Namun di lain pihak, bangsa-bangsa non-Barat justru mengalaminya sebagai penaklukan, penjarahan, penjajahan, kolonisasi, atau kolonialisme. Sebab, bangsa-bangsa ini mengalami kemerosotan dan keterkikisan identitas dan dirsakan sebagai sesuatu yang merugikan. Terlepas dari pengecualian bahwa Inggris adalah satu-satunya negara penjajah yang “baik dalam menajajah”, pada dasarnya penjajahan tak lain adalah hasil dari permainan bahasa yang dimainkan oleh si penutur dan si penafsir, dimana si penafsir kadang unggul dalam permainan ini.

Dalam konteks “penjajahan dalam agama” Ada-nya penjajahan ditentukan oleh hasil dari pemahaman dan pengalaman si penafsir, yakni dalam hal ini adalah orang-orang yang beragama. Maka, kita nantinya akan melihat bahwa penjajahan dalam agama merupakan persoalan kaum beragama. Selain itu, kita juga akan berhadapan dengan kesulitan lain. Kita akan berhadapan dengan pertanyaan yang sebenarnya juga cukup pelik: “Dalam agama kita terjajah dari apa?”. Akan tetapi karena kita telah berpandangan bahwa persoalan keterjajahan merupakan persoalan bahasa yang dipermainkan oleh si penafsir atau si individu beragama, maka kita dapat melihat sekaligus mencoba menjawab pertanyaan “Adakah Penjajahan Dalam Agama?” dengan melihat kualitas individu-individu dalam beragama sesuai dengan konteks apakah orang yang beragama merasa terjajah dalam beragama, dan jika merasa terjajah apa yang merupakan bagian dari agama yang menurutnya menjajah dirinya.

Hal ini pun lantas membawa saya kepada klasifikasi orang beragama yang saya simpulkan berdasarkan hasil pengamatan yang mungkin tidak terlalu akurat namun nampak jelas bagi saya dalam pengalaman hidup saya selama ini. Setidaknya, ada tiga golongan orang beragama sesuai dengan perihal “Adakah Penjajahan Dalam Agama?”: Pertama, orang yang merasa terjajah oleh agama; Kedua, orang yang tidak merasa terjajah oleh agama, malah agama baginya adalah suatu kenikmatan bagi jiwanya; Ketiga, orang yang tidak peduli apakah ia terjajah ataukah tidak oleh agama. Orang ini tidak tahu-menahu perihal penjajahan dalam agama, katakanlah, orang yang abstain.

Orang yang merasa terjajah oleh agama ialah orang yang mengalami agama sebagai sesuatu yang mengekang dan menjajah. Keterjajahan itu pun tergolong dalam dua situasi: Pertama, Terjajah oleh praktik ibadah, hukum, atau aturan-aturan agama. Bagi orang ini ibadah merupakan sesuatu yang jelimet dan terasa merepotkan sekaligus menjemukan. Baginya, segala macam aturan dalam agama membuatnya tidak dapat menikmati kebebasannya dan menghabiskan waktu dan tenaganya untuk menikmati hidup. Sehingga, agama baginya hanyalah racun yang dapat mematikan kehendak nafsunya.

Kedua, Terjajah oleh ideologi agama yang tidak sesuai dengan pemikiran agama yang dimilikinya. Ideologi agama yang terwujud dalam institusi agama terkadang mengandung kepentingan kelompok atau golongan tertentu karena memang suatu ideologi adalah hasil dari spekulasi manusia yang memiliki kepentingan tertentu pula. Kebenaran ideologi pun adalah kebenaran yang egois dimana klaim kebenaran atas dirinya menjadi satu hal yang menjadi ciri khas suatu ideologi. Sehingga, bagi orang yang berseberangan dengan ideologi itu agama dapat menjadi sesuatu yang merongrong identitasnya dan menjajah otonomi kemanusiaannya. Kondisi semacam ini pernah dirasakan oleh masyarakat Eropa selama dominasi Gereja sebagai institusi agama yang berkuasa pada saat itu. Gereja menentukan segala macam pengetahuan beserta kebenaran yang harus dianut. Jika suatu pernyataan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah Injil dan kepasturan saat itu maka hal itu dapat menjadi dosa dan aib bagi agama. Hal ini tentu memunculkan tingkatan “kasta” tertentu dimana para pemuka agama menjadi “Anak Tuhan” sang pemegang kebenaran, sehingga menyisihkan orang lain yang menjadi akibat dari kekerasan kebenaran ideologisnya. Para penemu sains saat itu adalah korban dari keganasan ideologis ini. Kreatifitas yang terkungkung dan dibelenggu karena dinilai mematahkan semua pemikiran Gereja menghasilkan perasaan yang menyakitkan dan bahasa yang menyedihkan bagi identitas orang-orang non-Gereja. Wajar jika kemudian pasca dominasi Gereja masyarakat Barat begitu menuhankan Sains dan ilmu pengetahuan setelah mereka terbebas dari genggaman ideologi Gereja yang menjajah. Wajar pula jika kebanyakan individu lebih memilih Atheisme sebagai jalan hidupnya. Inilah keterjajahan oleh agama yang dirasakan kaum agama jika ideolgi agama menjajah dirinya.

Orang yang tidak merasa terjajah oleh agama dan menganggap agama sebagai sesuatu yang menyenangkan bagi kehidupan adalah orang yang begitu menikmati agama. Golongan ini pun terbagi dalam dua kondisi pula: Pertama, orang yang tidak terjajah karena ideologinya, yakni kelompok institusi agama yang berkuasa dan berhasil bercokol di tengah masyarakat karena ke-mayoritas-annya. Golongan ini menikmati agama karena mereka memegang kekuasaan dan bebas menentukan ragam aktivitas keagamaan dan undang-undang berada di “palu pengadilan”-nya.

Kedua, orang yang menikmati agama karena agama adalah jalan yang menghubungkannya dengan sang Zat Yang Agung yang merupakan Cintanya. Orang ini sangat menikmati keberagamaannya karena kebanyakan agama yang dinikmati dalam hal ini adalah agama yang benar-benar merupakan bentuk dari hubungan sipiritual antara Tuhan dengan manusia, bukan agama yang, katakanlah, terkontaminasi dengan kepentingan duniawi tertentu yang biasanya menghantui ideologi agama. Orang bergama dalam golongan ini merasakan suatu kenikmatan ketika ia “bercumbu” dengan Sang Ilahi, puncak dari segala kenikmatan yang membuatnya berbahagia di dunia dan di akhirat kelak. Baginya, kebersatuan dirinya dengan Tuhan merupakan puncak dari segala kebahagiaan hidupnya. Biasanya orang ini berada di jalan sufisme.

Di antara orang yang terjajah dan tidak terjajah oleh agama, ada pula orang tidak tahu-menahu perihal penjajahan dalam agama ini. Orang ini berada di tengah-tengah atau malah tidak ikut andil dalam keterjajahan dalam agama. Biasanya orang ini adalah orang yang bergama dan melaksanakan segala praktik ibadah namun tidak memberikan perhatian yang serius terhadap agama. Orang ini takut untuk melanggar kewajiban agama dan mengakui ada hari selanjutnya setelah kehidupan di dunia namun dalam kehidupan sehari-hari ia terkadang lupa akan aturan-aturan agama. Sekalipun ia beribadah namun beberapa tindakannya seringkali kurang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agamanya. Dalam pelaksanaan acara keagamaan ia juga turut berhadir namun tidak merenungi makna dari acara itu, bahkan hadir karena alasan kepantasan dan lain sebagainya. Dalam waktu-waktu tertentu ia ingat akan keberagamaannya, namun di waktu-waktu yang lain ia lupa bahwa aturan agama berkuasa atas dirinya. Ia sebenarnya tidak terlalu menjalankan agamanya namun akan menolak jika dikatakan agamanya tidak benar.

Inilah orang awam yang berada di luar keterjajahan dan tidak terjajah oleh agama. Kondisi ini mungkin dikarenakan pengetahuan agama yang kurang dimilikinya atau dia lebih mengkonsentrasikan kehidupannya pada pencapaian tertentu di luar agama, seperti karir, pengetahuan non-agama, pencarian nafkah atau kehidupan cinta. Orang ini pun bukanlah kaum pemuka agama dan yang berandil dalam institusi agama. Ia pun orang yang damai tanpa gelisah dan gundah dalam pertarungan ideologi agama. Pada dasarnya, orang ini menjadikan agama sebagai sesuatu yang dapat mendukung pencapaian cita-citanya namun agama tidak menjadi dasar dalam kehidupannya. Tapi justru orang-orang dalam golongan ini nampak lebih mendominasi kuantitas umat bergama, apapun agamanya. Penjelasan mengenai penyebabnya bukanlah sesuatu yang mudah, namun situasi ini adalah nyata adanya dan bisa kita semua temukan di sekitar kita. Orang-orang inilah yang lebih banyak terlihat di sekitar kita.

Nah, dalam konteks di atas, pertanyaan yang muncul bagi kita kemudian dan perlu direnungkan dalam-dalam adalah: Di manakah posisi kita?

Tidak ada komentar: