18 November 2007

ULAMA: INTELEKTUALITAS ATAU PENGAKUAN MASYARAKAT?

Akhir-akhir ini kita sepertinya sedang memasuki “agenda kesalehan”.[i] Segala macam gerakan, organisasi, sistem pemerintahan, bahkan produk makanan dan pakaian beratributkan Islam muncul bak air bah. Kita bisa melihat di media-media, bahkan mungkin dengan mata kepala sendiri, bahwa Islam sepertinya muncul dalam berbagai macam bentuk produk manusia, fikiran dan olah tangan manusia. Ada “Organisasi Gerakan Islam”, ada pula wacana penegakan Syari’at Islam, ada juga bank-bank syari’ah, ada pula produk Busana Muslim lengkap dari kopiah sampai celana dalam, ada juga sinetron dan film “Islami”, ada lagi minuman ringan bersoda bermerek “Islam Cola”, dan lain-lain. Entah dari mana gelombang ini berasal, namun dalam konteks kemunculan gerakan-gerakan Islam Militan dengan misi penegakan syari’at disinyalir tren seperti ini muncul atas dasar terpenuhinya keinginan untuk berbicara bagi kalangan Islam militan di era Reformasi ini, setelah di era Orde Baru kesempatan untuk itu dipasung dan dihalang-halangi oleh penguasa dengan dalih Nasionalisme.[ii]

“Agenda kesalehan” ini rupanya merambah juga ke dunia per-ulama-an. Saat ini kita dapat menyaksikan bermunculannya para ulama dalam berbagai bentuk, ada yang berupa da’i, ada pula yang berupa konsultan rumah tangga, ada yang ahli “zikir modern”, ada pula yang ahli manajemen hati. Kita bisa menyambut fenomena ini dengan bangga dan syukur, sebab agaknya kehidupan Islam akan terus berjalan seiring dengan suasana masyarakat modern yang serba positivistik, naturalistik, hedonistik.

Namun ada hal yang sangat menarik ketika melihat fakta-fakta ini. Yakni, bahwa para ulama itu rata-rata masih berusia muda dan rata-rata tidak berlatang belakang pendidikan tinggi agama formal. Justru mereka jebolan Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi non agama. Saya akui bahwa saya memang agak meringis ketika melihat hal ini, sebab saya adalah mahasiswa sebuah perguruan tinggi Agama Islam Negeri yang dikaderkan menjadi “ulama” dengan dibekali seabrek teori-teori dan kaidah-kaidah yang rumit-rumit.

Salah satunya adalah K.H. Abdullah Gymnastiar atau yang biasa dipanggil AA Gym. Dai yang satu ini adalah ulama yang bergelut dalam bidang apa yang disebutnya “Manajemen Qalbu”, yaitu semacam suatu nasihat dan anjuran yang berkenaan dengan bagaimana agar hati tetap terjaga dari segala macam niat dan gemeritik hati yang buruk. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perilaku yang tidak sesuai dengan perintah dan hukum Allah. Uniknya, perangkat-perangkat ilmu “Manajemen Qalbu” tidak perlu aturan epistemologis atau kaidah-kaidah yang rumit seperti Filsafat, Tafsir, Hadits, bahkan Tasawuf sekalipun. AA Gym tampaknya tidak mau ambil pusing dengan pemikiran-pemikiran politik, ekonomi dan ketatanegaraan. AA Gym yang dilahirkan di Bandung, 29 Januari 1962 ini pernah mengecap pendidikan di D-3 PAAP (Pendidikan Ahli Administrasi Perusahaan) Universitas Padjadjaran. Selain itu, ia juga menimba ilmu di Fakultas Teknik Universitas Jendral Ahmad Yani, yang tentu bukan Perguruan Tinggi Agama. AA Gym Cuma pernah belajar agama di Pesantren Miftahul Huda Mononjaya Tasikmalaya, dan belajar secara otodidak dengan Ajengan Junaidi di Garut. Ia juga aktif dalam beberapa organisasi seperti Resimen Mahasiswa di Akademi Teknik Universitas A.Yani (1982) sebagai komandan. Ia juga merupakan pendiri Kelompok Mahasiswa Islam Wiraswasta (1987). Sekarang ia menjabat sebagai Pimpinan Ponpes Darut Tauhid, Bandung (1990 – sekarang).[iii]

Lain halnya dengan M. Arifin Ilham. Da’i dan ulama satu ini agaknya lebih fenomenal dibanding yang lain, sebab ia mengkonsep susunan wirid dan dzikir yang dikemas sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Sesekali ia membawa para jamaahnya kepada suasana haru dan penuh air mata, demi merenungi segala macam perilaku sehari-hari yang mengandung dosa dan maksiat yang sering tidak pernah disadari. Kegiatan ini dimaksudkan agar para jamaah sadar akan segala dosa dan segera bertobat pada Allah. Tanpa bermaksud macam-macam, setiap kali melihat wajah Arifin Ilham saya selalu terbayang wajah David Trezeguet, pemain sepakbola dari tim Juventus itu. Arifin Ilham dilahirkan di Banjarmasin, 8 Juni 1969, anak kedua dari 5 bersaudara yang semua saudaranya perempuan. Ia pernah bersekolah di SMPN 1 Banjarmasin. Setelah lulus ia menolak anjuran ayahnya untuk sekolah ke Ponpes al-Falah Banjarbaru, namun justru hendak sekolah ke Pondok Modern di pulau Jawa. Akhirnya ia masuk Ponpes Ulujami di Kebayoran Lama, Jakarta. Setelah setahun sekolah disana ia kemudian pindah ke Ponpes As-Syafi’iyyah dan duduk di kelas 2 Aliyah. Ketika ingin melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi, ia justru dianjurkan guru Ponpesnya untuk kuliah di Perguruan Tinggi umum saja. Alhasil, dia masuk Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Politik Universitas Nasional’ Jakarta. Ia pernah menjadi dosen di Universitas Borobudur.[iv]

Sayang, saya tidak menemukan biodata Ustadz Jeffry al-Bukhori. Padahal, ia juga merupakan da’i dan ulama yang “gaul” karena sasaran dakwahnya kebanyakan para remaja dan para selebritis. Namun, sekilas saya pernah menyaksikan tayangan salah satu infoteinment yang saat itu memprofilkan Ustadz Jeffry. Diceritakan bahwa ia pernah terjun dalam dunia entertainment dan pernah main sinetron bersama kawan akrabnya Gugun Gondrong, presenter dan mantan VJ MTV. Namun, suatu saat ia ternyata menemukan jati dirinya di ranah agama, maka beralihlah ia menjadi seorang da’i.[v]

Itulah segelintir ulama berpendidikan non agama yang sukses dalam dunia per-ulama-an. Sambutan masyarakat begitu hangat (dan histeris) setiap kali mereka tampil di mimbar, di televisi, di radio, dan lain-lain. Segala ujaran-ujaran mereka selalu didengar dan dicermati baik-baik oleh para jamaah. Masih banyak lagi da’i-da’i muda yang muncul mengiringi mereka. Apalagi, sekarang mulai menjamur forum-forum studi Islam di sekolah-sekolah umum dan perguruan tinggi-perguruan tinggi non agama. Bahkan, salah satu televisi swasta menggelar kontes da’i tahunan yang melahirkan penceramah-penceramah dan ahli-ahli agama muda.

Melihat fenomena ini, kita mungkin bertanya-tanya ada apa dengan dunia keilmuan Islam. Saya teringat pada saat saya masih kecil, diceritakan bahwa seorang “Guru” (istilah ulama bagi masyarakat Banjar) tidak akan sah sebagai “Guru” kalau belum beijazah[vi] kitab Sifat Dua Puluh[vii]. Begitu pula “syarat kesarjanaan” dalam bidang-bidang ilmu agama yang lain. Sistem ijazah memainkan peranan penting dalam figur seorang ulama. Selain itu, dalam terminologi Tarekat seorang mursyid harus memiliki silsilah[viii] yang tidak terputus dengan mursyid-mursyid sebelum dia, dan memiliki hubungan yang intens dengan tarekat-tarekat lain. Dalam ilmu Tafsir, seorang penafsir haruslah orang yang menguasai berbagai seluk beluk kebahasaan Arab, lengkap dengan ilmu Nahwu (Ilmu struktur bahasa Arab), Sharf (Ilmu fungsionalisasi bahasa Arab) dan Balaghah (Ilmu Sastra), bahkan harus hafal keseluruhan al-Qur’an. Dalam ilmu mushthalah al-hadits, seorang perawi haruslah orang yang cerdas, kuat ingatan, dan bukan pembohong. Begitu ketatnya syarat yang harus dimiliki oleh seorang ahli agama, sehingga ulama merupakan jabatan yang sedikit kuantitasnya.

Ketika menyimak kemunculan ulama-ulama dan dai-dai muda dengan latar belakang pendidikan rata-rata non agama, kita dapat menyadari bahwa kata “ulama” mengalami pergeseran makna yang sangat drastis di zaman ini. Saat ini, seorang ahli agama tidak perlu banyak berkutat dengan persoalan-persoalan dan teori-teori agama yang rumit dan complicated. Untuk menjadi seorang “ulama modern” tidak perlu mengkaji jauh-jauh ilmu-ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, tasawuf dan lain sebagainya, dan ilmu-ilmu penunjangnya, seperti filsafat dan sistem pendidikan Islam, dan lain-lain. Cukup dengan hafal sedikit ayat al-Qur’an dan hadits, pintar berbicara, dan yang paling penting adalah mampu menguasai audiens dengan entertaining talent yang memadai.

Entertaining talent sangatlah berperan besar dalam aktivitas ulama-ulama modern ini. Kita seringkali menemukan penceramah yang pintar ngebanyol, sering mengggunakan plesetan-plesetan dan lelucon-lelucon yang mengundang decak tawa. Ada pula pendakwah yang sering menggunakan istilah-istilah “gaul” yang lagi ngetren di kalangan remaja. Bahkan, ada pula ulama yang menggunakan kata-kata vulgar dan mengandung unsur seksual dalam setiap penyuluhan-penyuluhan agama yang dilakoninya. Itu semua adalah sedikit dari entertaining talent yang digunakan para ulama dalam aktivitas dakwahnya, karena di sinilah letak identitas seorang “ulama modern”.

Ulama di zaman modern memang sangat berbeda dengan ulama di zaman dulu. Ada perbedaan dari segi “elemen-elemen pembentuk” antara keduanya. Sebagaimana kita lihat, bahwa ulama dahulu lebih merupakan gelar kesarjanaan setelah melewati syarat-syarat dan proses-proses yang rumit, sedangkan ulama di zaman modern tidak lebih dari produk penguasaan terhadap audiens yang bernama masyarakat. Keadaan ini tampaknya dipengaruhi oleh dunia modern yang cenderung dirasakan sebagai suasana yang kering rohani.

Ada kesan yang kuat bahwa dunia modern adalah dunia yang mengandung nuansa positivistik, materialistik, dan hedonistik. Kecenderungan ini berasal dari budaya masyarakat modern Eropa yang mendapatkan “nyawa”-nya pasca revolusi industri di Inggris. Trauma sejarah yang kuat yang disebabkan oleh penderitaan yang dialami masyarakat Eropa karena dominasi gereja terhadap pengetahuan ketika itu berakibat pada tren berfikir masyarakat eropa yang cenderung melonggarkan, atau bahkan memutuskan hubungan dengan Tuhan. Akhirnya yang diakui sebagai kebenaran adalah dunia postifistis, materialistis, dan hedonistis itu. Pola pikir demikian kemudian dibawa ke dunia Timur yang mengagungkan metafisika (tentu bukan metafisika yang dimaksud dalam dunia Barat) dan hal-hal yang bersifat rohaniah, seiring dengan proyek civilizing mission oleh Barat terhadap Timur yang disebut masyarakat Timur sebagai Kolonialisme.[ix]

Kekeringan rohani yang dikandung oleh dunia modern rupanya dirasakan betul oleh masyarakat modern. Akibatnya, sebagaimana masyarakat Eropa di awal masa renainsans yang trauma dan kemudian mencela agama secara membabi buta, masyarakat modern pun mengalami trauma sejarah yang dahsyat. Orang-orang pun kemudian berbondong-bondong beralih pada agama. Namun, trauma sejarah menyebabkan masyarakat modern tidak melakukan banyak perenungan intelektualistik sebagaimana yang harus ditempuh masyarakat klasik untuk mencapai gelar ulama. Sehingga, setiap orang bebas mempelajari agama beserta pemahamannya yang bebas pula, tanpa mengindahkan kriteria-kriteria “akademik” yang telah terbentuk sejak zaman dulu. Akhirnya, muncullah apa yang disebut diatas, “ulama modern”.

Kita tidak dapat menyalahkan hal ini. Keadaan ini merupakan produk perjalanan waktu dan ruang yang berubah secara terus-menerus. Oleh karena itu, kemunculan ulama-ulama muda modern yang rata-rata tidak berlatang belakang pendidikan agama ini harus diakui. Ini berarti kebebasan berfikir dan berpendapat sebagaimana yang sebetulnya diinginkan dunia modern telah berjalan dan berlaku di masyarakat kita sekarang. Agama tidak lagi hanya dipelajari dan difahami oleh mereka yang berlatang belakang pendidikan agama saja, tetapi juga yang berlatar belakang pendidikan umum. Apalagi, dunia pengetahuan tidak lagi mengenal batasan epistemologi yang tunggal, tetapi ada asimilasi dan negosiasi antar disiplin ilmu pengetahuan, atau yang disebut dengan istilah Inter-Disipliner. Oleh karena itu, siapa pun yang mencoba untuk mempelajari dan memahami agama sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keilmuannya, maka ia harus diakui keabsahannya sebagai ajaran agama. Muhammad Syahrur yang notabene ahli teknik, Muhammad Salman Ghanim yang ahli ekonomi, adalah di antara mereka yang berlatar belakang pendidikan non agama yang karya-karya mereka harus diakui sebagai bagian dari khazanah intelektual Islam. Ironisnya, mereka justru dianggap sesat dan tidak sah sebagai pemaham agama oleh mereka yang justru memiliki riwayat hidup yang notabene sama dengan mereka yang dianggap sesat itu.

Dari uraian di atas dan kenyataan di lapangan, dalam perihal “ulama modern” intelektualitas bukan lagi sebagai ukuran bagi legalisasi gelar ulama bagi seseorang, namun semata-mata karena pengakuan masyarakat sebagai audiens pengajaran mereka. Masyarakatlah yang melegitimasi keberadaan seorang ulama. Setinggi-tingginya seseorang belajar agama, bila ia tidak diakui masyarakat maka ia tidak akan disebut ulama. Banyak profesor dalam bidang agama yang tidak dianggap ulama oleh masyarakat, paling-paling diakui hanya di dunia akademik. Namun, banyak pula mereka yang bukan sarjana agama justru ceramah-ceramah dan perkataan-perkataan mereka malah didengarkan dan dipatuhi oleh masyarakat. Namun begitu, ada konflik-konflik kecil antar kelompok masyarakat dalam mengklasifikasi orang-orang mana saja yang dapat diakui sebagai ulama. Pembicaraan ini bukan bagian dari makalah ini.

Untuk mendapatkan pengakuan masyarakat ini, seseorang harus memiliki apa yang telah kita sebutkan sebelumnya, entertaining talent. Ini berhubungan dengan retorika seorang ulama dalam setiap penyampaian segala apa yang difahaminya mengenai agama. Masyarakat yang berada di tengah-tengah kondisi bangsanya yang semrawut dan memusingkan ini lebih mudah didekati dengan hal-hal yang menghibur, sehingga mengundang simpati mereka.

Kesimpulannya, menjadi seorang ulama tidaklah perlu intelektualitas yang berbelit-belit, sebagaimana yang diterapkan pada mahasiswa dan pelajar di perguruan tinggi-perguruan tinggi agama negeri. Yang diperlukan hanyalah sedikit membaca buku-buku agama, suara yang indah dalam membaca al-Qur’an, pinter baca tulisan arab termasuk menerjemahkannya, pinter berbicara, dan yang penting adalah entertaining talent. Lalu, bagaimana urgensi perguruan tinggi-perguruan tinggi agama kemudian(Pertais)? Pertais harus menemukan identitasnya yang baru, yang tidak lagi berorientasi pada ke-ulama-an, namun berorientasi pada intelektualitas yang bebas dan terbuka, yang menerima segala macam paradigma keilmuan yang semakin plural.



CATATAN-CATATAN

[i] Istilah ini sekilas dilontarkan Moeslim Abdurrahman ketika menggambarkan era Orde Baru yang mencoba mengagendakan de-politisasi agama namun justru yang muncul gerakan-gerakan Islam yang menjamur. Sayangnya, gerakan-gerakan “Islam shaleh” itu tidak mengindahkan posisi kaum miskin dan tertindas, malah lebih memperhatikan kondisi umara yang kehilangan identitas. “Islam shaleh” lebih kelihatan daripada “Islam Nilai”. Moeslim Abdurrahman dalam hal ini berbicara dalam konteks interpretasi ajaran Islam demi keberpihakan Islam terhadap kaum miskin dan tertindas. Lihat Moeslim Abdurrahman, Islam Yang Memihak, (Yogyakarta: LkiS, 2005), hal. 18.

[ii] Jamhari dan Jajang Jahroni (peny), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 9. Buku ini memang berbicara dalam konteks gerakan-gerakan politik radikal yang mencoba menjadikan “Islam” sebagai instrumen kehidupan politik, namun tampaknya segala bentuk “kesalehan” itu senada dengan keinginan gerakan salafi ini. Bahkan, orang-orangnya pun itu-itu juga.

[iii] http://www.tokohindonesia.com/G/Gymnastiar,Abdullah

[iv] http://www.femina.com/M.ArifinIlham

[v] Dikutip dari salah satu acara infoteinment yang sayang sekali saya lupa nama acaranya, kapan ditayangkan, dan televisi mana yang menayangkan.

[vi] Ijazah merupakan legitimasi untuk menjabat sebagai seorang “Guru” yang diberikan oleh “Guru” sebelumnya, dimana seseorang telah belajar padanya.

[vii] Sebuah kitab berisikan ajaran-ajaran tauhid karangan Imam Sanusi, penyebar ajaran Ahlus Sunnah versi dia, yang kemudian disebut Sanusiyah. Kitab ini memuat konsep-konsep sifat bagi Tuhan beserta klasifikasinya dan diterangkan dengan dalil-dalil akal. Di Kalimantan Selatan, kitab ini tidak hanya diajarkan di pondok-pondok pesantren tetapi juga di kampung-kampung lewat pengajian-pengajian duduk.

[viii] Rentetan hubungan ilmiah dan batiniah antara seorang mursyid dengan mursyid-mursyid pengajarnya, begitu seterusnya hingga terbukti bahwa apa yang diajarkan seorang mursyid adalah memang berasal dari nabi Muhammad SAW.

[ix] Masyarakat Timur sebenarnya memaknai Kolonialisme sebagai penjajahan dalam bidang militer, politik, dan ekonomi. Namun proyek poskolonial menilai bahwa Kolonialisme juga melibatkan ideologi-ideologi yang Barat dibawa ke Timur. Salah satunya adalah ideologi Modernitas. Untuk melihat bagaimana kerja Kolonialisme bisa dilihat dalam Ahmad Baso, Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme, (Bandung: Mizan, 2005), hal. 64-73, meski studi Kolonialisme ini diperuntukkan bagi studi konteks dunia Islam nusantara di era pasca kolonial.

Tidak ada komentar: